Ajeng Patria Meilisa

Kandidat doktor Universitas Birmingham, UK. Sedang melaksanakan  riset komunikasi keluarga dan perkembangan anak. Berharap dapat mengokohkan peran keluarga dalam masyarakat.

Membangun Lingkungan yang Kondusif Bagi Kesehatan Mental Anak

Ajeng Patria Meilisa Jumat, 24 Maret 2023
Tips menjaga kesehatan mental anak di sekolah: Guru dan lingkungan sekolah wajib berperan.
Tips menjaga kesehatan mental anak di sekolah: Guru dan lingkungan sekolah wajib berperan. FatCamera

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Dalam definisi WHO (World Health Organization), kesehatan mental disebutkan sebagai kondisi kesejahteraan (well being) seorang individu yang menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya.

Sayangnya, dalam masyarakat umum, isu ini biasanya lebih sedikit mendapat perhatian ketimbang kesehatan fisik karena gejala masalah kesehatan mental tidak selalu terlihat.

Misalnya, kita kurang lebih dapat melihat ciri-ciri orang yang sedang bermasalah secara fisik seperti batuk, bersin, demam, luka, dan sebagainya.

Namun pada orang yang mengalami masalah pada kesehatan mental, tidak semuanya dapat kita ketahui dari pertemuan yang hanya sekilas.

Pada orang yang mengalami depresi misalnya, dia bisa saja terlihat ceria dan mampu bersosialisasi seperti biasanya.

Tetapi di balik tampilan tersebut, diam-diam dia menyimpan rasa putus asa yang besar.

Akibat ketidaklihatan inilah, masalah kesehatan mental kerap diabaikan.

Pada sebagian orang tua di Indonesia misalnya, masalah kesehatan mental pada anak diatasi dengan cara memasukkan anak ke pesantren atau di-ruqyah.

Metode semacam itu memang tidak dapat dikatakan keliru karena problem kesehatan mental tentu juga memiliki dimensi spiritual.

Baca Juga: Orang Tua Wajib Tahu, Ini 3 Cara Mengatasi Gangguan Kesehatan Mental pada Anak

Tetapi pada titik tertentu hal di atas bisa dianggap terlalu menyederhanakan persoalan dan malah menempatkan anak pada stigma.

Kenyataannya, masalah kesehatan mental adalah masalah kompleks yang tidak hanya terhubung dengan aspek psikologis, tapi juga problem sosial, termasuk keluarga.

Penting bagi para orang tua untuk terlebih dahulu mengafirmasi problem kesehatan mental pada anak dengan pertama-tama mendengarkan keluhan-keluhannya.

Empati dan komunikasi adalah dua kata kunci yang sangat penting agar anak merasa masalahnya diperhatikan.

Jika anak sudah mulai terbuka tentang apa yang dialaminya, baru kita bisa masuk pada penanganan profesional, jika memang dibutuhkan.

Betul. Afirmasi dari orang tua bukanlah pekerjaan yang gampang, Kawan Puan.

Sebagai contoh, ketika mendapati anak tengah menyakiti diri sendiri, kita sebagai ibu, sebagai orang tua, tentu akan kaget. Dan reaksi semacam itu sangatlah wajar.

Namun hal yang perlu dilakukan berikutnya bukanlah menyalahkan anak atas kelakuannya, melainkan berempati dan mengajaknya untuk berkomunikasi.

Baca Juga: Beri Empati, Ini 5 Alasan Mengapa Anak Tantrum dan Cara Mengatasinya

Penanganan Kesehatan Mental di Inggris

Dalam data yang dikumpulkan oleh Government Statistical Service tahun 2017 di Inggris, 1 dari 10 anak pada bangku sekolah dasar teridentifikasi mengalami masalah kesehatan mental.

Menginjak bangku sekolah menengah, jumlah tersebut meningkat menjadi 1 dari 7 anak.

Riset tersebut menunjukkan bahwa usia 17 hingga 19 tahun merupakan usia paling rentan untuk seseorang mengalami kondisi gangguan mental.

Di Inggris, penanganan kesehatan mental adalah juga tanggung jawab sekolah.

Mereka beranggapan bahwa anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga guru dan staf di dalamnya wajib memiliki kemampuan mengenali problem mental pada anak.

Tidak hanya itu, sekolah juga harus membangun ekosistem yang kondusif bagi kesehatan mental siswa dan siswinya.

Sebagai contoh, kita bisa mengacu pada situs Mentally Healthy Schools yang khusus ditujukan bagi penanganan kesehatan mental bagi anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah di Inggris.

Dalam situs tersebut tertulis pentingnya seorang guru menunjukkan rasa senang saat mendengarkan ungkapan perasaan dari murid-muridnya.

Baca Juga: Cerita dari Inggris: Saat Negara Ada Bagi Pendidikan dan Perlindungan Anak

Selain itu, guru juga harus peka terhadap anak yang mengalami stres dan susah berkonsentrasi.

Pada anak yang mengalami hal semacam itu, guru sebaiknya tidak langsung menghakimi, melainkan mencari waktu santai dan personal untuk mengobrol serta menyimak ungkapan perasaan dari anak tersebut.

Selain diwajibkan memiliki guru-guru dan staf yang kompeten untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi kondisi mental anak, sekolah-sekolah di Inggris juga disarankan untuk mempunyai jasa konseling profesional.

Masalah mental tentu saja merupakan hal yang kompleks dan tidak bisa dipukul rata, sehingga pada kasus-kasus yang dirasa cukup berat, jasa profesional ini menjadi sangat diperlukan.

Baca Juga: Layanan Konseling Online dengan Psikolog atau Psikiater, Begini Cara, Harga, Serta Manfaatnya

Keseriusan sekolah-sekolah di Inggris tersebut dapat menjadi pertimbangan kajian bagi pendidikan di Indonesia yang sebenarnya sudah cukup awas sejak lama dengan isu kesehatan mental lewat keberadaan guru konseling yang ditempatkan di berbagai sekolah.

Namun keberadaan guru konseling semata tentu tidak cukup, karena hal yang lebih diperlukan adalah pembentukan ekosistem yang sehat dengan melibatkan guru-guru dan juga staf sekolah lainnya.

Ekosistem tersebut juga perlu diperluas tidak hanya pada ruang lingkup sekolah, tetapi kembali lagi, dimulai dari keluarga. (*)