Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Toxic Masculinity dan Pembagian Kerja Berbasis Gender dalam Keluarga

Dr. Firman Kurniawan S. Sabtu, 26 November 2022
Keluarga bisa lebih bahagia tanpa toxic masculinity dan pembagian peran yang rata antara suami istri - ayah ibu.
Keluarga bisa lebih bahagia tanpa toxic masculinity dan pembagian peran yang rata antara suami istri - ayah ibu. Stella_E

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Gender ini dituntut selalu punya pengaruh yang dominan sekaligus mampu tampil tanpa sikap emosional.

Racun gagasan ini, kemudian digunakan sebagai argumentasi yang ujungnya berupa pelanggengan sikap dominan, homofobia, dan agresivitas laki-laki.

Uraian terkait toxic masculinity ini dikemukakan oleh Amy Morin, 2022, dalam artikelnya yang berjudul “What is Toxic Masculinity”.

Ami Morin adalah pemimpin redaksi media online Verywell Mind, yang berlatar belakang sebagai psikoterapis, juga seorang penulis buku laris 13 Things Mentally Strong People Don't Do, dan pengasuh The Verywell Mind Podcast.

Baca Juga: Bagaimana Toxic Femininity dan Masculinity Memicu Kekerasan? Ini Penjelasan Psikolog

Toxic Masculinity dan Pengaruhnya dalam Keluarga

Toxic masculinity jadi penting dibahas sebab kehadirannya di tengah masyarakat, dianggap bertanggung jawab terhadap terhalangnya kehadiran keseimbangan peran laki-laki dengan perempuan, dalam relasi keluarga.

Halangan itu muncul, manakala laki-laki dituntut untuk selalu kuat, jadi penanggungjawab penuh organisasi keluarga, hingga selalu melakukan penyelesaian persoalan secara rasional.

Semua hal di atas tak memberi ruang pada laki-laki untuk bertindak lambat lantaran penuh kehatian-hatian, atau menunda akibat memperhitungkan waktu yang tepat dalam menyelesaikan persoalan.

Semua jeda dianggap sebagai manifestasi sisi emosional: hadirnya sikap ragu-ragu.