Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Toxic Masculinity dan Pembagian Kerja Berbasis Gender dalam Keluarga

Dr. Firman Kurniawan S. Sabtu, 26 November 2022
Keluarga bisa lebih bahagia tanpa toxic masculinity dan pembagian peran yang rata antara suami istri - ayah ibu.
Keluarga bisa lebih bahagia tanpa toxic masculinity dan pembagian peran yang rata antara suami istri - ayah ibu. Stella_E

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Zaman teknologi digital, selain memanjakan umat manusia dengan kemudahan dan kecepatan, juga menghasilkan budaya popular baru yang beragam.

Uniknya, untuk tiap budaya popular ada sebutan berikut gejala khasnya. Itu tak nampak nyata di zaman sebelumnya, zaman belum dominannya teknologi digital.

Salah satu yang berangkat dari gejala yang tak terlalu jelas, namun terus diterima secara luas adalah toxic masculinity.

Gejala ini kemudian berkembang jadi budaya massa, yaitu budaya yang hadir akibat diinisasi oleh media massa, menjangkiti khalayaknya, hingga diterima secara massal.

Demam K-wave misalnya, hiburan yang kemudian berpengaruh pada pemujaan terhadap segala hal yang berkait dengan Korea, merupakan perwujudan budaya massa itu.

Disebut demikian, lantaran penyebaran luas dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, digenggam jadi acuan perilaku maupun cara berpikir banyak kalangan.

Jika pada masa sebelumnya, agen budaya massa adalah media konvensional, hari ini media sosial lah yang bertindak sebagai agen.

Baca Juga: Survei IBCWE Tunjukkan Toxic Masculinity di Tempat Kerja Masih Tinggi

Mengenal dan Memahami Toxic Masculinity

Akan halnya toxic masculinity, sebagai suatu bentuk budaya massa diawali oleh hadirnya gagasan yang melekatkan keharusan laki-laki untuk senantiasa tangguh.