Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Cara Perempuan Menepis Ketakutan yang Ditebarkan Media Sosial

Dr. Firman Kurniawan S. Kamis, 27 Oktober 2022
Saat unggahan media sosial menimbulkan ketakutan, teror, apa yang perempuan bisa lakukan untuk mengatasinya?
Saat unggahan media sosial menimbulkan ketakutan, teror, apa yang perempuan bisa lakukan untuk mengatasinya? PonyWang

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Ini merupakan dampak pertama televisi, terjadinya mainstreaming. Terbentuknya arus utama isi pikiran penonton sebagaimana isi siaran televisi.

Pada dampak berikutnya, televisi yang terus ditonton menyebabkan resonance (resonansi).

Penonton tanpa sadar menyamakan yang terjadi di sekitarnya, sesuai dengan isi media. Isi siaran televisi turut disuarakan penonton dalam melihat peristiwa yang ada di sekitarnya.

Ketika ada anak tetangga yang mengalami sakit dan menjadi parah dalam waktu singkat, serta merta para tetangga berpikir kalau anak yang sakit itu mengalami gagal ginjal akut.

Memang penelitian Garbner tak bisa jadi penjelasan tuntas pada yang dialami pengguna media sosial. Dan perhatian Garbner dengan penelitiannya, lebih pada dampak kekerasan yang dipertontonkan televisi bagi khalayaknya.

Sehingga, apakah media sosial punya dampak yang sama dengan televisi maupun media lainnya? Tak serta merta prosesnya dapat disamakan dengan uraian Garbner.

Namun menilik cara kerja akal budi manusia, yang tak terlalu membedakan media yang diserapnya, boleh jadi hal yang terjadi di televisi, juga identik terjadi di media sosial.

Tentu perlu penelitian untuk memastikan hal ini, untuk menghindari kegegabahan dalam menarik kesimpulan. Namun sedikit banyak media sosial punya cara kerja yang identik dengan media lainnya.

Ini berarti, media sosial punya pengaruh sama besar, bahkan lebih kuat, dibanding media yang diteliti Garbner.

Mainstreaming dan resonance yang terbentuk karena berulang dan makin banyaknya unggahan media sosial, berdampak membentuk pikiran penggunanya.

Menambal “Bocornya” Ketakutan ke Dunia Nyata

Teror ketakutan yang ditebarkan media sosial, bakal merembes jadi ketakutan di dunia nyata. Tentu ini jadi keadaan yang tak menguntungkan, termasuk untuk kesehatan mental perempuan.

Terlebih banyak penelitian menunjukkan bahwa intensitas penggunaan media sosial oleh perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.

Ini akibat perempuan rata-rata punya lebih banyak pengikut dibanding laki-laki. Maka waktu penggunaan media sosial oleh perempuan lebih panjang dari laki-laki.

Efek kulitivasi media sosial lebih intensif terjadi di kalangan perempuan. Imbas ancaman merembesnya teror oleh unggahan media media, rentan memangsa perempuan.

Perempuan yang terteror akan sulit berkonsentrasi pada tugas utamanya, produktivitasnya menurun, bahkan gangguan mental jadi taruhannya.

Maka untuk keluar dari keadaan ini: adanya pengaturan waktu interaksi perempuan dengan media sosial, maupun kedisiplinannya dalam penggunaan akal sehat, jadi kunci menepis teror ketakutan.

Kawan Puan, perembesan teror media sosial di kehidupan nyata dapat diminimalkan.

Demi kesehatan mental, kenyamanan keluarga, dan kewarasan masyarakat; menepis teror ketakutan dapat ditempuh dengan mengendalikan penggunaan media sosial. Dan tentu saja, penggunaan akal sehat.

Banyak yang bisa dilakukan perempuan, selain menelan unggahan teror. (*)