Mengintip Bahaya di Balik Viralnya Kasus Kekerasan Seksual di Media Sosial dari Perspektif Korban

Rizka Rachmania - Minggu, 21 Agustus 2022
Dampak buruk viralnya kasus kekerasan seksual di media sosial bagi korban.
Dampak buruk viralnya kasus kekerasan seksual di media sosial bagi korban. PeopleImages

Parapuan.co - Di balik viralnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual di media sosial, ternyata ada bahaya yang mengancam korban.

Budaya spill the tea yang marak dipakai netizen media sosial saat ada kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang viral nyatanya tidak selalu membantu korban.

Maksud hati memviralkan kasus kekerasan maupun pelecehan seksual di media sosial agar mendapat perhatian publik, namun jika tak hati-hati hal tersebut justru bakal jadi bumerang bagi korban.

Pasalnya, sering kali ketika ada kasus kekerasan maupun pelecehan seksual yang viral di media sosial, netizen akan mendesak pengungkapan nama pelaku, status pekerjaan, hingga tempat tinggal.

Kalau pun tidak ada yang secara gamblang mengungkap nama pelaku, netizen akan mengulik sendiri siapa pelaku dan korban yang dimaksud dalam kasus kekerasan seksual tersebut.

Hal ini tentu membahayakan keamanan korban dan keluarga korban, sebab dari informasi pribadi pelaku, netizen bisa mengetahui siapa korbannya.

Ketika informasi pribadi korban pun diketahui oleh netizen, maka keamanannya dan juga keluarganya bisa terancam.

Belum lagi mengingat komentar yang dilayangkan oleh netizen terhadap kasus kekerasan maupun pelecehan seksual yang viral di media sosial ini.

Bisa jadi komentar-komentar netizen, terlebih lagi yang menggunakan akun anonim, akan menyudutkan korban.

Baca Juga: Mengenal Piramida Budaya Perkosaan, Bentuk Kekerasan Seksual dalam Bahasa Keseharian

"Dampaknya keamanan korban dan keluarga korban. Walaupun korban memberikan persetujuan, consent untuk diceritakan kasusnya, tetapi belum tentu dia bisa siap menghadapi respons yang begitu banyak dan kebanyakan responsnya orang Indonesia apalagi di medsos itu jahat," ucap Nancy Sunarno, Head of Program Rutgers Indonesia, dalam acara Media Training and Pre Conference ICIFPRH 2022, di Yogyakarta, Minggu, (21/8/2022).

Nancy pun menambahkan bahwa viralnya kasus kekerasan seksual hingga menguak identitas korban, akan berdampak buruk ketika netizen melemparkan komentar kasar.

"Kenapa? Kebanyakan berasal dari akun-akun anonimus. Dia nggak pakai nama beneran, dia asal ngomong langsung aja begitu bisa pakai istilah yang kasar-kasar," lanjutnya.

Selain itu, ketika informasi pribadi diketahui, korban terancam mengalami dampak buruk lain misalnya dikeluarkan dari sekolahnya atau dikucilkan dari lingkungannya.

Ketika sudah dikeluarkan dari sekolah misalnya, maka dia harus pindah sekolah dan itu butuh biaya yang tak sedikit.

Ia juga berisiko mendapat komentar buruk dari netizen yang sering kali berniat menyalahkan maupun menyudutkannya.

Tentunya ini malah memposisikan korban sebagai korban lagi karena kasus kekerasan seksual yang dialaminya diketahui oleh masyarakat umum.

Kawan Puan, ketika informasi pribadi korban ini diketahui oleh masyarakat umum, maka ia akan pun menghadapi gempuran pertanyaan maupun komentar hingga nasihat.

Sementara yang tidak orang ketahui adalah korban ini membutuhkan waktu untuk pulih dari trauma atas kejadian kekerasan seksual yang menimpanya.

Baca Juga: Wajib Diketahui, Ini 10 Poin Penting UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Alih-alih memviralkan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh seseorang kamu kenal, ada cara lain yang lebih aman dan berpihak pada korban.

Caranya yakni dengan melaporkan ke lembaga maupun pihak yang bisa membantu korban kekerasan seksual.

Salah satu yang direkomendasikan oleh Nancy adalah melaporkan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).

"Cari UPTD di kabupaten/kota, kalau tidak ada cari di provinsi, karena mereka lah yang seharusnya punya tanggung jawab pertama," ujar Nancy.

Namun, sekadar melaporkan ke UPTD PPA pun tidak berarti kasusnya selesai. Kamu perlu mengawasi atau memonitor perkembangan penanganan kasus tersebut.

Pilihan lain jika tidak ada UPTD PPA di daerah tempat tinggal korban, maka bisa meminta bantuan ke layanan pendamping dan organisasi masyarakat yang fokus menyediakan bantuan untuk korban kekerasan seksual.

"Cari layanan pendamping dari organisasi masyarakat seperti Women Crisis Center, LBH, atau organisasi-organisasi lainnya," sebut Nancy.

Kawan Puan pun bisa mengakses website Forum Pengada Layanan di www.fpl.or.id untuk mendapatkan kontak lembaga penyedia layanan bantuan untuk korban kekerasan seksual.

Pada akhirnya, memviralkan kasus kekerasan seksual ke media sosial tidak selalu jadi cara terbaik untuk mendapatkan perhatian dari penegak hukum di Indonesia, meskipun tidak dimungkiri pula bahwa kasus kekerasan seksual akan mendapat perhatian masyarakat ketika sudah viral.

Ada baiknya jika Kawan Puan meminta bantuan ke lembaga terkait yang punya tanggung jawab dan wewenang untuk membantu para korban kekerasan seksual, dengan begitu kita tidak menciptakan korban berulang dari sebuah kasus.

Baca Juga: Mengintip Mimpi Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual di RUU TPKS

(*)

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania