Cerita Kate Walton, Dideportasi Usai Dianggap Bawa Isu Feminisme ke Indonesia

Ardela Nabila - Selasa, 8 Maret 2022
Kate Walton, aktivis Australia yang dideportasi dari Indonesia.
Kate Walton, aktivis Australia yang dideportasi dari Indonesia. Dok. Kate Walton

Parapuan.co - Setiap tanggal 8 Maret, seluruh perempuan di dunia memperingati International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional.

Momen yang spesial ini menjadi waktu yang tepat untuk kembali mengapresiasi perjuangan setiap perempuan di dunia, termasuk perjuangan para aktivis yang tak pernah menyerah membela hak perempuan.

Salah satu sosok menginspirasi yang gigih menyuarakan hak perempuan adalah Kate Walton, seorang aktivis asal Australia yang aktif di berbagai kegiatan feminis di Indonesia.

Perempuan yang mengaku pernah menjadi anti-feminis itu tak pernah menyangka akan berkecimpung serta terjun langsung membela hak perempuan, kelompok minoritas, dan marjinal.

Pandangannya terhadap feminisme berubah kala ia ditugaskan sebagai relawan melalui sebuah program oleh pemerintah Australia dan ditempatkan di Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) di Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 2012.

Terinspirasi oleh para aktivis perempuan di KPI, Kate mulai aktif berkontribusi di berbagai kegiatan dan organisasi perempuan.

Namun sayangnya, setelah tujuh tahun meniti karier dan fokus membantu memperjuangkan hak perempuan serta kelompok minoritas lainnya, perempuan kelahiran 19 Desember 1987 itu terpaksa harus kembali ke negara asalnya pada Juni tahun 2019.

Ya, Kate dideportasi dan dicekal untuk masuk ke Indonesia. Yang sangat disayangkan, hingga saat ini ia tak pernah mengetahui alasan jelas dan masuk akal di balik pencekalan tersebut.

Pasalnya memang, selama bertahun-tahun tinggal di Indonesia, perempuan yang merupakan salah satu penggagas aksi solidaritas Women’s March Jakarta itu mengaku tak pernah melakukan hal kontroversial.

Baca Juga: Kate Walton, Aktivis asal Australia yang Aktif Perjuangkan Hak Perempuan di Indonesia

“Aku hanya memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dalam hal sustainable development goals (SDGs), dalam rangka semua hak yang sudah diakui, masa hal-hal seperti ini tidak diperbolehkan?” ceritanya kepada PARAPUAN beberapa waktu lalu.

Saat menanyakan alasan jelas mengapa ia harus kembali ke Australia, Kate mengatakan ia ‘diusir’ lantaran dianggap membawa isu feminisme ke Indonesia.

Padahal berdasarkan pengalaman pribadinya, Kate justru tertarik dengan isu feminisme usai mendapatkan penugasan di salah satu organisasi perempuan di Indonesia yang tadi telah disebutkan.

“Dan dijelaskan ke aku bahwa aku membawa feminisme ke Indonesia. Lalu aku jelaskan ke orangnya, ‘Pak, aku tidak perlu membawa feminisme ke Indonesia, feminisme sudah ada di sini’,” jelas perempuan berusia 34 tahun itu ketika mendengar dirinya dideportasi.

Sebelumnya, bule yang fasih berbahasa Indonesia itu memang sudah merasa bahwa cepat atau lambat ia harus meninggalkan Indonesia, sebab ia sudah beberapa kali mendapatkan peringatan dan teguran dari pemerintah.

“Aku sudah lama merasa bahwa suatu hari aku akan diusir dari Indonesia, tapi aku pikir itu enggak akan terjadi secepat itu dan saat itu aku merasa masih aman saja. Karena sebelumnya juga pernah bermasalah, pernah diberikan peringatan, pernah ditegur,” katanya.

Maka dari itu, menurut Kate, negara yang seharusnya memberikan perlindungan dan payung hukum untuk seluruh warga negaranya, justru merupakan hambatan terbesar yang dirasakan oleh banyak aktivis perempuan, tak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia.

“Jadi mereka menjadi-jadikan alasan di belakang deportasi aku. Jadi di mana saja kita berada, hambatan terbesar, sayangnya masih merupakan negara, karena masih tidak mendukung hak-hak perempuan,” pungkasnya menyayangkan.

Bagi Kate, pengalaman deportasi tersebut merupakan pengalaman paling menyedihkan yang tak akan terlupakan.

Baca Juga: Terpilih Jadi Figur Barbie Global Role Model, Inilah Sosok Butet Manurung

Ia terpaksa harus meninggalkan semua teman-teman dekatnya di sini. Bahkan Kate mengaku ia tidak sempat berpamitan.

“Jadi aku meninggalkan banyak teman, meninggalkan kucing-kucingku di Jakarta dan tidak sempat pamit sama teman-teman karena aku merasa bisa segera kembali, ternyata tidak seperti itu, jadi sangat menyesalkan itu,” lanjut Kate.

Walaupun demikian, pengalaman tidak menyenangkan yang dialaminya tak membuat Kate lantas menyerah dan berhenti menyuarakan isu perempuan.

Tak lama setelah kembali ke negara asalnya, ia pun langsung terlibat di berbagai kegiatan sosial untuk membela berbagai kelompok.

Menurutnya, meskipun pernah mengalami pengalaman tidak mengenakkan, ia tak akan bisa merasa nyaman jika harus benar-benar ikut menghentikan keterlibatannya dalam isu-isu sosial sekembalinya ke Australia.

"Untuk menyerah secara total I don’t think I would be comfortable karena di belakang aku pasti masih berpikir aku masih bisa melakukan sesuatu tentang ini.

“Saat aku kembali ke Australia, aku langsung jadi terlibat di beberapa hal di sini juga karena merasa ada sebuah kekosongan di hidup aku waktu lagi enggak aktif di isu-isu sosial,” tuturnya.

Perempuan yang mengagumi sosok Mama Aleta Baun itu kemudian mengatakan, “Di sini aku aktif di sebuah gerakan besar tahun lalu, namanya March4Justice, di mana ada juga protes yang cukup besar terhadap kebijakan dan perilaku pemerintah Australia yang juga mengabaikan kekerasan seksual sebagai darurat.”

Baca Juga: Naila Rizqi, Co-Coordinator Women's March Jakarta yang Merasa 'Salah' Masuk Jurusan Hukum

Nah, begitulah kisah Kate Walton yang tidak menghentikan perjuangannya di mana pun tempatnya, sekalipun tidak lagi bisa berada di Indonesia.(*)

Sumber: Wawancara
Penulis:
Editor: Aghnia Hilya Nizarisda