Cerita Penyintas Human Trafficking Soal Sisi Gelap Proses Perekrutan Buruh Migran

Aulia Firafiroh - Kamis, 6 Januari 2022
proses perekrutan buruh migran
proses perekrutan buruh migran Somrerk Kosolwitthayanant

Parapuan.co- Maizadah Salas, seorang mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) menceritakan pengalamannya saat dulu menjadi buruh Imigran.

Perempuan asal Wonosobo tersebut bahkan membangun Kampung Migran dengan tujuan agar para korban perdagangan manusia bisa bangkit dan mendapatkan edukasi.

Ia juga aktif di Serikat Buruh Migran Indonesia yang berupaya melakukan advokasi pencegahan perdagangan manusia serta membantu perancangan Undang-Undang tentang Penempatan dan Perlindungan TKI hingga pembuatan revisi undang-undang tersebut.

Kepada PARAPUAN, perempuan yang akrab disapa Bu Salas ini menceritakan bagaimana proses perekrutan pekerja migran hingga akhirnya ia menjadi korban Human Trafficking pada Kamis (5/1/2022).

Bu Salas diketahui mengawali karier sebagai buruh migran di Korea saat umur 18 tahun.

Ia berharap pekerjaannya di luar negeri ini bisa menghidupi anak dan keluarganya di Indonesia.

Namun kehidupan tidak semulus apa yang ia bayangkan setelah bekerja di luar negeri.

Apalagi mengingat pada tahun 1998 ada krisis keuangan global yang mempengaruhi perekonomian seluruh dunia.

"Pada saat itu saya bekerja ketika krisis global melanda dunia. Ketika itu saya belum sempat menikmati gaji. Dampak dari krisis global itu menimpa pada perusahaan tempat kami bekerja. Kemudian kita diliburkan tanpa digaji. Beberapa hari kerja, beberapa hari diliburkan dan tidak mendapatkan gaji," cerita Bu Salas mengenai kondisinya dahulu.

Baca juga: Sejarah Hari Korps Wanita Angkatan Laut Indonesia yang Diperingati Setiap 5 Januari

"Lalu saya dipindahkan dan mau dipulangkan ke Indonesia. Karena saya berangkat bekerja ke luar negeri dengan biaya hutang, saat itu saya belum punya uang sama sekali. Waktu itu saya melarikan diri, menjadi pekerja migran kaburan di Korea. Tapi baru dua bulan kabur. Nah, saat saya baru mulai merasakan bekerja dan belum mendapatkan gaji, eh saya malah ketangkap polisi. Akhirnya dipenjara terus dideportasi," tambahnya.

Setelah pulang ke Indonesia, Bu Salas kemudian menjual tanah pekarangan orang tuanya untuk berangkat bekerja di Taiwan.

Namun saat berada di Jakarta untuk bergabung dengan PJTKI, Bu Salas justru bernasib apes.

"Pada saat saya mau ke Taiwan, saya ke Jakarta dulu. Pas saya di Jakarta, saya ditipu orang dan nggak berani pulang. Akhirnya saya mendaftar ke shelter yang waktu itu biayanya sekitar Rp 1.700.000," tambahnya sambil mengenang masa lalu.

Selama tiga bulan berada di shelter tersebut, Bu Salas merasa tertekan.

Pasalnya ia mulai merasa diperlakukan seenaknya seperti budak.

"Nah, selama tiga bulan di penampungan itu, saya mulai merasa tertekan karena saya bersama teman-teman tidak diperbolehkan keluar, tidak boleh ditemui oleh keluarga, disuruh bekerja melayani bos PJTKI, melayani staff PJTKI, membersihkan ruangan, memasak, dan lain sebagainya," cerita perempuan berjilbab tersebut.

Tak hanya itu, Bu Salas menceritakan bagaimana proses perekrutan pekerja migran yang rentan sekali untuk terjadi kekerasan seksual.

"Pada saat tes medical, kita semua yang ada di situ nyaris telanjang. Jadi hanya diperbolehkan menggunakan celana dalam dan petugasnya laki-laki semua. Kita 20 orang disuruh masuk ke suatu ruangan dan dicek satu per satu," ujar Bu Salas.

"Ketika ada salah satu yang terlihat payudaranya paling besar, dia disuruh baris di paling belakang. Saya tidak tahu diapakan dia, tapi seluruh tubuh itu diraba, dikhawatirkan ada benjolan, panu, atau penyakit. Tapi semua bagian tubuh diraba kecuali bagian tubuh di vagina dan pantat," tambahnya.

Kemudian Bu Salas disuruh untuk menandatangani surat kontrak kerja yang berbahasa China.

Bu Salas yang tidak mengerti bahasa China tersebut hanya patuh saja saat disuruh menandatangani kontrak kerja.

"Pada saat itu saya cuma diberitahu bahwa pekerjaan saya, menjaga nenek buta satu orang. Tulisan kontrak itu berbahasa Taiwan yang sama sekali saya nggak bisa baca," katanya.

Bahkan saat akan terbang ke negara yang dituju,koper Bu Salas dan para pekerja lainnya digeledah.

"Saat mau terbang, tasnya digeledah semua. Waktu itu saya bersama 11 pekerja migran yang akan ke Taiwan. Tidak boleh bawa kosmetik, tidak boleh bawa Quran, tidak boleh bawa nomor handphone, tidak boleh memegang uang, tidak boleh membawa baju yang dianggap seksi seperti tank top dan bawahan di atas lutut. Bahkan Mukenah juga disita," cerita ibu tiga anak tersebut.

Bu Salas bersama para pekerja yang akan diberangkatkan waktu itu juga tidak pernah melihat paspor dan dokumen yang mereka miliki.

"Saya juga tidak tahu paspor sama sekali. Jadi semua dokumen sudah di map sendiri terus diberi pesan, ini tidak boleh dibuka. Nanti di bandara sudah ada yang akan menerima," lanjutnya.

Ketika berangkat bekerja ke negara tetangga, para buruh migran termasuk Bu Salas saat itu tidak mengetahui apa hak mereka sebagai pekerja.

Baca juga: Melihat Pentingnya Kesetaraan Gender dan Inklusi dalam Industri Film

"Kita semua saat itu tidak tahu apapun hak kita sebagai pekerja migran. Dari berangkat sampai pulang, kita nggak diedukasi sama sekali. Selama di penampungan kita cuma diajari bahasa, memasak, dan kewajiban pekerja migran tanpa diedukasi mengenai hak."

Mulai dari masuk PJTKI hingga sudah berada di negeri orang, Bu Salas dan para buruh migran lainnya harus melalui proses yang penuh tekanan.

"Begitu sampai bandara dan dokumen diserahkan, saya dibawa ke kantor agensi. Sebelum dilepas untuk bekerja dengan majikan di Taiwan, kita harus bekerja dulu di agensi untuk ditest terlebih dahulu. Ya, kita disuruh membersihkan kantor dan menyuguhi staff agensi tanpa diberi uang sama sekali," cerita Bu Salas lagi.

Setelah tiga hari berada di kantor agensi, Bu Salas langsung diantar ke rumah majikannya.

Berharap bisa bekerja dengan tenang, namun yang didapatkan Bu Salas saat itu justru kekerasan.

"Setelah itu saya dibawa ke rumah majikan yang rumahnya tiga lantai. Di situ saya dikasih jadwal kerja. Jam setengah 4 pagi, saya sudah harus bangun tidur, masak, membersihkan rumah tiga lantai, dan saya baru boleh tidur jam 1 malam. Waktu saya libur cuma sehari dalam seminggu. Itu pun saya tetap harus membersihkan rumah tiga lantai dan patung-patung yang biasanya dipakai untuk ibadah. Saya juga tidak boleh keluar rumah. Keluar rumah pun hanya boleh untuk melempar sampah," Cerita pendiri Kampung Buruh Migran tersebut.

Jangankan untuk keluar rumah, Bu Salas bercerita bagaimana majikan pertamanya di Taiwan melarang dirinya untuk beribadah.

"Meski nggak ada mukenah, setiap waktu shalat saya coba beribadah memakai kain jarik pemberian nenek saya. Tapi majikan malah melaporkan saya ke agensi dan bilangnya saya bolak-balik ke kamar terus dan dipikir saya tidur. Akhirnya setiap pagi kamar saya dikunci dan baru dibuka sampai malam," cerita Bu Salas sembari mengusap air mata mengingat kenangan buruk tersebut.

"Saat kamar saya dikunci, saya cuma bisa menangis dan curhat sama Allah SWT di toilet," tambahnya.

Tak hanya mendapat tekanan, sebagai buruh migran, Bu Salas juga kerap mendapatkan kekerasan seksual. (*)

Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh