Melihat Pentingnya Kesetaraan Gender dan Inklusi dalam Industri Film

Alessandra Langit - Jumat, 10 Desember 2021
Representasi perempuan dan inklusifitas di industri film Indonesia
Representasi perempuan dan inklusifitas di industri film Indonesia monkeybusinessimages

Parapuan.co - Perkembangan teknologi secara global membuat media dan film memegang peran penting dalam membentuk perspektif masyarakat.

Di Indonesia, media hiburan seperti film sering digunakan sebagai alat penyampaian pesan soal isu-isu sosial yang terjadi di Indonesia.

Isu pendidikan, contohnya, sering menjadi sorotan di film-film Indonesia yang sukses di pasar seperti Laskar Pelangi (2008) dan Sokola Rima (2013).

Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) yang kini tayang di bioskop juga membahas soal sistem patriarki dan maskulinitas toksik di lingkungan masyarakat Indonesia.

Sayangnya, representasi perempuan dan kelompok minoritas masih belum cukup tersampaikan di industri film Indonesia.

Bahkan, tak sedikit tayangan hiburan yang menempatkan perempuan dan kelompok minoritas sebagai objek yang dapat direndahkan.

Maka, inklusivitas dalam industri film dan karya-karyanya menjadi hal yang penting untuk diwujudkan.

Baca Juga: Tak Boleh Diremehkan, Ini Kata Gina S. Noer Soal Pentingnya Suara Penonton Film Perempuan

Pada acara Feminist Festival 2021, permasalahan tersebut menjadi salah satu topik diskusi yang dibahas dalam Film dalam Perspektif Feminisme yang digelar, Sabtu (27/11).

Pada diskusi tersebut, hadir Anggun Pradesha, seorang aktivis transpuan dan pembuat film yang karyanya ditayangkan secara luas di platform YouTube.

Menurut Anggun, sterotip terhadap perempuan dan kelompok minoritas di industri film tentu menghambat terwujudnya inklusivitas. 

Pengalaman Anggun sebagai pekerja kreatif di industri film mengatakan bahwa diskriminasi dan kekerasan berbasis gender masih marak terjadi.

Walaupun kini industri film Indonesia sudah semakin berkembang dan terbuka, namun praktik bias gender tentunya bukan hal yang mudah untuk dihapuskan.

"Untuk ngomong representasi, dalam industri kadang ada semacam bias gender dan ada asumsi tentang certain people are good in certain departments," kata Anggun.

Industri film yang didominasi oleh laki-laki membuat suara dan gender lainnya menjadi sulit untuk didengar.

Baca Juga: Menang Piala Citra, Jerome Kurnia Dorong Kesetaraan Gender di Industri Film

Peran perempuan dan kelompok minoritas pun dibatasi dalam departemen pekerjaan tertentu yang diangkap tidak maskulin dan tidak butuh kepemimpinan.

"Kami ditempatkan di departemen tertentu yang sudah menjadi sterotip, padahal kami ingin juga berkontribusi dalam penulisan naskah atau penyutradaraan misalnya," cerita Anggun.

Kru perempuan dan kelompok minoritas juga dianggap menjadi "penghibur" di lokasi set syuting, tak jarang mereka mengalami perundungan dan tindakan kekerasan seksual.

"Ketika ada kelompok minoritas, peran itu stereotipikal atau bahan lelucon. Aku sering melihat jokes dan bullying karena kru perempuan dan kelompok minoritas. Untukku itu sangat tidak nyaman," cerita Anggun.

Baca Juga: Women Support Women Jadi Kunci Kesetaraan bagi Perempuan di Industri Film

Ketidaksetaraan di belakang layar, dari orang-orang yang menciptakan sebuah karya, tentu saja tercerminkan dalam produk yang dihasilkan.

Tak sedikit film yang menempatkan perempuan dan kelompok minoritas hanya sebagai "pemanis", serta objek lelucon dan seksual.

"Jadi bahan komedi seksis, dan bulan-bulanan jadi badut, dulu saya dapat peran sebagai objek penderita," cerita Anggun.

Namun, kondisi industri film yang masih tidak aman dan nyaman bagi perempuan dan kelompok minoritas tidak menghentikan Anggun untuk tetap berkarya.

Dia pun akhirnya secara independen membuat karya film yang menyuarakan isu-isu perempuan, ketidaksetaraan gender, dan kekerasan seksual.

"Penting untuk menemukan tribe sendiri, menemukan ally (sekutu -red.) yang mendukung suara kita," kata Anggun.

Menurut Anggun, kini perlahan-lahan industri dan penonton film Indonesia mulai sadar akan pentingnya kesetaraan gender.

Munculnya film-film berprestasi yang memiliki perspektif feminisme menjadi tanda bangkitnya ruang aman di industri film Indonesia.

Baca Juga: Mian Tiara Suarakan Pentingnya Film Feminis, Lebih Setara dan Tidak Merendahkan

Keberadaan sutradara perempuan di industri film juga terbukti memberikan ruang bagi keberagaman dan kebebasan untuk berkarya bagi perempuan dan kelompok minoritas.

"Aku nyaman syuting dengan sutradara perempuan, seperti Nia Dinata, dia selalu ajak aku kerja," cerita Anggun.

Kawan Puan, di industri yang didominasi laki-laki ini, dukungan terhadap pekerja film perempuan dan kelompok minoritas merupakan hal yang penting untuk mewujudkan inklusivitas.

Sebagai penonton, hal paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan menyaksikan film karya sutradara perempuan dan yang menyuarakan isu kesetaraan gender. (*)