Cerita Penyintas Human Trafficking Soal Sisi Gelap Proses Perekrutan Buruh Migran

Aulia Firafiroh - Kamis, 6 Januari 2022
proses perekrutan buruh migran
proses perekrutan buruh migran Somrerk Kosolwitthayanant

"Lalu saya dipindahkan dan mau dipulangkan ke Indonesia. Karena saya berangkat bekerja ke luar negeri dengan biaya hutang, saat itu saya belum punya uang sama sekali. Waktu itu saya melarikan diri, menjadi pekerja migran kaburan di Korea. Tapi baru dua bulan kabur. Nah, saat saya baru mulai merasakan bekerja dan belum mendapatkan gaji, eh saya malah ketangkap polisi. Akhirnya dipenjara terus dideportasi," tambahnya.

Setelah pulang ke Indonesia, Bu Salas kemudian menjual tanah pekarangan orang tuanya untuk berangkat bekerja di Taiwan.

Namun saat berada di Jakarta untuk bergabung dengan PJTKI, Bu Salas justru bernasib apes.

"Pada saat saya mau ke Taiwan, saya ke Jakarta dulu. Pas saya di Jakarta, saya ditipu orang dan nggak berani pulang. Akhirnya saya mendaftar ke shelter yang waktu itu biayanya sekitar Rp 1.700.000," tambahnya sambil mengenang masa lalu.

Selama tiga bulan berada di shelter tersebut, Bu Salas merasa tertekan.

Pasalnya ia mulai merasa diperlakukan seenaknya seperti budak.

"Nah, selama tiga bulan di penampungan itu, saya mulai merasa tertekan karena saya bersama teman-teman tidak diperbolehkan keluar, tidak boleh ditemui oleh keluarga, disuruh bekerja melayani bos PJTKI, melayani staff PJTKI, membersihkan ruangan, memasak, dan lain sebagainya," cerita perempuan berjilbab tersebut.

Tak hanya itu, Bu Salas menceritakan bagaimana proses perekrutan pekerja migran yang rentan sekali untuk terjadi kekerasan seksual.

"Pada saat tes medical, kita semua yang ada di situ nyaris telanjang. Jadi hanya diperbolehkan menggunakan celana dalam dan petugasnya laki-laki semua. Kita 20 orang disuruh masuk ke suatu ruangan dan dicek satu per satu," ujar Bu Salas.

Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh