Cerita Fentia Budiman Soal Stigma yang Didapat Jadi Nakes Garda Depan

Ardela Nabila - Senin, 22 November 2021
Fentia Budiman saat menjadi garda terdepan Covid-19.
Fentia Budiman saat menjadi garda terdepan Covid-19. Fentia Budiman

 

Parapuan.co - Sejak Maret 2020 lalu, Indonesia dilanda oleh pandemi Covid-19 yang pada akhirnya menyebabkan banyak perubahan dalam berbagai aspek.

Dalam hal penanganannya, tenaga kesehatan yang meliputi dokter dan tenaga keperawatan memiliki peran yang sangat penting.

Mulai dari memberikan edukasi secara tidak langsung sampai merawat pasien Covid-19 secara langsung.

Meskipun memiliki tugas yang begitu mulia serta tanggung jawab yang sangat besar, tenaga kesehatan tak lepas dari stigma negatif, Kawan Puan.

Padahal, tanpa peran mereka, kita tak akan bisa mengendalikan angka infeksi dan kematian akibat virus Corona.

Baca Juga: 5 Pilihan Profesi Wanita Karir di Bidang Kesehatan, Apa Saja?

Salah seorang mantan perawat relawan di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet, Fentia Budiman, merupakan salah satu yang mengalami stigma negatif ini.

Kepada PARAPUAN, perempuan yang akrab disapa Fen ini bercerita bahwa banyak sekali tantangan yang dihadapinya selama mengemban tugas sebagai garda terdepan.

“Jadi, pandemi ini adalah pukulan terberat untuk kami yang bekerja di sektor kesehatan karena angka peningkatan jumlah pasien Covid-19 dengan jumlah tenaga kesehatannya itu timpang banget,” cerita perempuan berusia 27 tahun itu saat dihubungi.

Selain harus beraktivitas dan merawat pasien dalam balutan Alat Pelindung Diri (APD) dan terpaksa membatasi mobilitas sehari-hari, ia juga sempat mengalami stigma negatif dari pasien.

“Belum lagi bagaimana kita harus menghadapi stigma dari pasien dan berbagai masalah lain, di mana kita harus sangat siap,” tuturnya.

Saat pertama kali RSDC Wisma Atlet dibuka dan Fen bertanggung jawab untuk mengurus pasien, ia pernah mengalami hal tidak mengenakkan itu.

Kala itu, cerita Fen, seorang pasien menyuruhnya untuk tidak mendekat dan menyebutnya sebagai pembawa virus.

Padahal, ia harus merawat pasien yang sudah terpapar Covid-19 itu.

“Saya pernah mendapatkan stigma dari pasien. Ketika saya masuk (ruangan) dengan APD lengkap, dia bilang, “Jauh-jauh dari saya”. Katanya ners itu membawa virus. Itu pertama kali, saat Wisma Atlet baru buka,” ujar alumnus Universitas Sam Ratulangi itu.

Menanggapi hal tersebut, Fen pun dengan sabar menjelaskan kepada pasien tersebut bahwa ia harus merawatnya agar pasien itu dapat segera pulih.

Baca Juga: Hari Kesehatan Nasional, Ini Alasan Profesi Bidan Hanya untuk Perempuan

Pada akhirnya, pasien itu bisa menerima penjelasannya, tetapi tetap meminta Fen dan perawat lainnya untuk menjaga jarak darinya.

“Akhirnya kita mencoba menjelaskan pada pasien bahwa jika saya tidak melayani dia, maka bagaimana saya bisa membantu penyembuhannya? Jadi akhirnya dia bisa menerima, namun tetap saat itu mereka minta kita untuk jaga jarak,” imbuhnya.

Menurut Fen, kondisi Wisma Atlet saat itu benar-benar kacau. Selain harus merawat puluhan pasien sekaligus, ia juga harus mengalami stigma.

Ya, Fen juga bercerita bahwa dua orang perawat harus melayani sebanyak 60 sampai 70 pasien lantaran kurangnya sumber daya tenaga kesehatan.

“Jadi saat itu stres karena banyaknya orang, kemudian mendapatkan dampak stigma dari pasien. Tapi ya sudahlah, akhirnya kita juga tetap menikmati pekerjaan itu selama di Wisma Atlet,” lanjut Fen.

Kawan Puan, meskipun memiliki tugas yang mulia dan peran yang sangat penting selama pandemi Covid-19, tak sedikit tenaga kesehatan yang mengalami stigma negatif.

Fentia Budiman hanyalah satu dari sekian banyaknya tenaga kesehatan yang memiliki pengalaman tidak mengenakkan ini.

Alih-alih memberikan stigma negatif kepada mereka yang sudah berjuang di tengah pandemi, kita sebaiknya mengapresiasi mereka atas kerja kerasnya, ya! (*)

Baca Juga: 7 Profesi Perempuan Karier Mendominasi Sektor Berikut, Apa Saja?

Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh