Film A World Without: Masa Depan dan Perempuan Tak Pernah Bisa Dipisahkan

Alessandra Langit - Sabtu, 16 Oktober 2021
Ulasan film A World Without karya Nia Dinata
Ulasan film A World Without karya Nia Dinata Netflix

Parapuan.co - Film produksi Netflix A World Without sudah tayang secara global sejak hari Kamis (14/10/2021).

Film garapan sutradara perempuan Nia Dinata ini menceritakan kisah yang berlatar masa depan yang tidak begitu jauh yaitu di tahun 2030.

Sebuah organisasi misterius bernama The Light berjanji untuk membantu para anggotanya menjadi versi terbaik dari diri mereka.

Namun, ketika tiga sahabat menemukan sisi The Light yang sebenarnya, tak ada jalan lain bagi mereka kecuali melarikan diri.

Ketiga sahabat itu adalah Salina (Amanda Rawles), Tara (Asmara Abigail), dan Ulfah (Maizura).

Baca Juga: Nia Dinata Ungkap Kekuatan Karakter Perempuan di Film A World Without

Mengambil tema futuristik, film ini juga mengangkat soal women empowerment dengan berbagai isu perempuan yang dikupas secara tuntas.

Dalam ulasan kali ini, PARAPUAN akan menyoroti bagaimana perempuan dan masa depan dibingkai dalam film ini.

Ketika berbicara tentang masa depan, kita berarti juga berbicara tentang perempuan, hal itu juga yang dilihat oleh organisasi The Light.

Organisasi The Light yang dipimpin oleh Ali Khan (Chicco Jerikho) dan Sofia (Ayushita) menjanjikan masa depan di tengah keterpurukan dunia pasca pandemi.

Namun, beban masa depan tersebut berat sebelah di perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

Seperti yang kita tahu, perempuan memiliki keistimewaan untuk dapat mengandung dan melahirkan anak-anak generasi masa depan.

Hal tersebut yang membuat lingkungan sosial percaya bahwa masa depan perempuan seakan sudah mutlak dan seragam; menjadi seorang ibu dan melahirkan.

Film A World Without menangkap isu tersebut dengan sentilan pahit nan imajinatif lewat cerita dan karakternya.

Di awal film ini, penonton diajak untuk berharap lewat ketiga karakter perempuan utama.

Perempuan diberi ruang untuk mengembangkan bakatnya kemudian bekerja keras untuk meraih impiannya sampai pada batas usia tertentu ada tekanan, bahkan kewajiban sosial, untuk menikah dan punya anak.

Baca Juga: 5 Fakta Menarik Film A World Without yang Tayang di Netflix Besok

Apakah terasa familiar, Kawan Puan? Tentu, karena itu adalah realita yang juga banyak terjadi pada perempuan di Indonesia.

Nia Dinata secara khusus menyoroti tekanan tersebut pada usia yang muda, masa-masa kesuburan perempuan yang ditentukan oleh lingkungan patriarkis.

Kegelisahan tersebut tercermin jelas di karakter Salina (Amanda Rawles) dan Tara (Asmara Abigail), perempuan muda yang sangat mencintai mimpi dan kebebasannya, tetapi harus dihadapkan dengan kewajiban untuk menikah.

Diambil dari perspektif perempuan, film ini memiliki kesetaraan yang membuat sebuah narasi tidak hanya hitam dan putih.

Perempuan yang bermimpi menjadi ibu dan memiliki anak dibingkai lewat kisah Ulfah (Maizura).

Ulfah tidak merasa terbeban dengan tekanan tersebut namun ia harus merasakan pahitnya rumah tangga yang dijalin tanpa konsen dua belah pihak dan di usia yang masih belia.

Pernikahan dan hubungan seksual non konsensual juga menjadi sorotan beban masa depan perempuan hanya karena kita memiliki rahim yang dapat memproduksi generasi masa depan.

Ulfah digambarkan sebagai perempuan yang lebih konservatif dari Salina atau Tara, menjadi representasi perempuan Indonesia di wilayah yang jauh dari kota besar dan modernitas.

Pernikahan non konsensual menjadi makanan sehari-hari yang terkadang mereka hanya bisa menerima dengan pasrah, seakan keputusan tersebut adalah definisi masa depan untuk mereka.

Kesetaraan lain yang dengan apik digambarkan oleh Nia Dinata adalah peran Hafiz (Jerome Kurnia), laki-laki muda yang juga merasakan beban masa depan karena tekanan lingkungan organisasi The Light.

Baca Juga: 5 Alasan Wajib Nonton A World Without yang Tayang di Netflix Hari Ini

Nia Dinata mematahkan narasi toxic masculinity yang menuntut laki-laki untuk menjadi dominan, superior, dan tidak bisa merasakan emosi.

Karakter Hafiz mendorong plot cerita tanpa mendominasi perspektif perempuan dalam film ini.

Hafiz juga ikut menyumbangkan banyak emosi dan kerapuhan laki-laki yang jarang tergambarkan lewat film-film di Indonesia.

Pada akhirnya, ketiga karakter perempuan tersebut tumbuh dengan kesadaran bahwa mereka bisa bebas untuk bermimpi.

Perempuan bisa mendefinisikan masa depannya sendiri dan menemukan jalan yang ingin kita tempuh tanpa disetir oleh tekanan sosial dan kewajiban yang seksis.

Ketika bicara tentang masa depan, kita juga berarti bicara tentang perempuan yang memiliki kendali penuh untuk menjadi agen perubahan lewat mimpi-mimpinya.

Tatanan dunia kini penuh dengan sistem patriarki, maka perspektif kesetaraan dan kemanusiaan dari perempuan merupakan angin segar yang dunia butuhkan.

Baca Juga: Bintangi A World Without, Asmara Abigail Temukan Arti Women Support Women

Seperti apa yang dipercaya sang sutradara, film ini merupakan narasi yang mengaungkan bahwa alih-alih menjadi powerless, perempuan justru punya kendali penuh untuk masa depan.

(*)