Mengenal Adi Utarini, Ilmuwan Perempuan Indonesia yang Diakui Dunia

Tentry Yudvi Dian Utami - Sabtu, 16 Oktober 2021
Adi Utarini, perempuan Indonesia masuk ke dalam 100 Most Influential People 2021 versi majalah Time.
Adi Utarini, perempuan Indonesia masuk ke dalam 100 Most Influential People 2021 versi majalah Time. TIME/ED WRAY

 

Parapuan.co- Nama Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc, MPH, Ph.D, pada September lalu terdengar menggaung di seluruh Indonesia. Betapa tak langsung menggema, namanya masuk ke dalam 100 Orang Paling Berpengaruh dari Time 2021. 

Tentunya, Uut-biasanya Adi Utarini disapa ini kaget dengan adanya daftar tersebut.

Meskipun, Uut merasa pencapaian tersebut bukanlah hasil kerja dirinya sendiri, melainkan bersama 100 orang lebih ilmuwan di World Mosquito Program Yogyakarta.

“Saya mungkin mewakili penelitian. Ini bukan pekerjaan saya, ini pekerjaan tim di World Mosquito Program. Kami sudah menjalani penelitian tentang nyamuk demam berdarah selama 10 tahun. Dan, ya, ini hasilnya,” jelas Uut kepada PARAPUAN.

Baca Juga: Sosok Nicke Widyawati, Dirut Pertamina yang Masuk Daftar Perempuan Paling Berpengaruh

Uut juga bercerita tentang penelitian yang dilakukannya dengan tim. Jadi, dia bersama timnya ingin mengurangi penyakit demam berdarah. 

Dalam mengantisipasi mengurangnya demam berdarah, Uut dan timnya pun meneliti nyamuk demam berdarah.

Dari situ, Uut dan timnya pun melakukan uji efikasi Wolbachia.

Wolbachia merupakan bakteri yang hidup di serangga.

Bakteri ini bisa berkembang biak menjadi nyamuk untuk melawan nyamuk demam berdarah.

“Wolbachia ini melawan virus yang ada di tubuh nyamuk. 50 tahun lebih, berusaha untuk mematikan nyamuk demam berdarah, tapi negara tropis,” jelas Uut.

Uut dan timnya pun menebarkan telur-telur Wolbachia di kawasan seperti Sleman, Yogyakarta.

Menurutnya, Wolbachia ini bisa membantu mengurangi penyakit demam berdarah, sehingga masyarakat pun banyak terbantu.

“Setiap minggu kita menanamkan telur di pemukiman masyarakat. Setelah mendapatkan izin, kemudian telur ini nanti berkembang biak menjadi nyamuk.

Angka penyakit demam berdarah juga sudah semakin berkurang,” ujar Guru Besar Ilmu Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.

Lalu, apa yang membuat Uut tertarik ingin meneliti nyamuk?

Ingin Membantu Masyarakat

Sejak kecil, rupanya Uut sudah tertarik ingin membantu masyarakat. Sebab itu, dia pun mengambil jurusan kuliah Kedokteran di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1983.

“Iya, kalau bicara cita-cita ya, waktu masuk ke kedokteran. Idelisnya saat itu tahun 83, membayangkan di puskesmas, yang agak terpencil dan terbatas. Sehingga, rasanya keren banget saat itu, menolong masyarakat,” lanjut Uut sambil tersenyum.

Namun, setelah melewati berbagai pertimbangan. Niat Uut untuk menjadi dokter pun urung dilanjutkan.

Baca Juga: Kiprah Olvah Alhamid, Puteri Indonesia Papua Barat 2015 di Dunia Modeling

Katanya, “Ketika saya kuliah tahun kedua, ketika diskusi dengan ortu, saya enggak mungkin melakukan itu. Waduh, saya tidak bisa merintis ke sana. Opsi kedua adalah menjadi dosen. Memilih bidang yang banyak puskemas.

Ilmu kesehatan masyarakat, tidak jadi dokter. Saya jadi dosen di ilmu kesehatan masyarakat. Kalau dilihat dari keluarga ya, keluarga orangtua saya. Bukan keluarga dokter. Jadi, apa ini bukan turun menurun dari keluarga dokter enggak ya,” jelas Uut.

Pertimbangannya untuk menjadi dosen juga terinspirasi dari sang ayah yang bekerja sebagai dosen di fakultas Ilmu Budaya, UGM.

Sejak kecil, dia sudah diminta sang ayah membantunya untuk memindahkan nilai dan memasukkan absen mahasiswa sang ayah.

"Hal-hal kecil yang secara enggak langsung pekerjaan saya. Ayah saya di FIB, kesukaan saya menulis sedikit darah menetes dari ayah saya," kenangnya.

Seiring bertambahnya usia, Uut melihat banyak dosen di perumahannya sudah menua dan ditinggal keluarganya. Nurani Uut pun terketuk agar bisa bermanfaat untuk orang lain.

Saya kemudian dari situ, muncul keinginan mungkin kalau saya jadi dokter ini akan membantu. Saya ingin melihat kejadian itu, perumahan seperti itu.

Dulu zaman saya mulai kuliah dan akhirnya, tahun kedua enggak boleh bekerja di tempat jauh. Saya jadi dosen, semester enam saya mulai dari asisten dosen," jelasnya.

Guru Besar Perempuan di UGM

Setelah memutuskan untuk jadi dosen, Uut rupanya tak pernah berhenti untuk belajar dan menempuh pendidikan tinggi.

Walaupun, perempuan yang menempuh pendidikan tinggi di zamannya tidaklah banyak. Tapi, itu bukan masalah besar, apalagi orangtuanya selalu memberikan kesempatan belajar yang setara untuknya.

"Tapi, saya beruntung saya dibesarkan dengan situasi keluarga dengan ayah dan ibu saya kesempatan yang sama," jelasnya.

Uut pun sangat menyukai pendidikan. Dia bahkan sekarang sudah punya gelar Professor dan juga sudah menjadi guru besar di UGM.

"Akan tetapi, jenjang akademik dosen itu, dosen sudah banyak perempuan. Sampai saya ke guru besar, semakin berkurang proposi perempuan berkurang," jelasnya. 

Namun, perjalanan Uut mendapatkan gelar guru besar bukanlah hal mudah, terlebih ibu satu anak ini merasa kalau perempuan sering kali terhalang untuk mengemukakan pendapat di publik.

Baca Juga: Kisah Tyas Murtiningsih, Atlet Perempuan Pencetak Rekor Baru di PON XX Papua 2021

"Saya kadang-kadang mau berpendapat itu, kayak ada sesuatu terhalang. Alamiahnya, masih ada rasa itu untuk perempuan," lanjutnya.

Namun, Uut tak menyerah, karena menurutnya kalau tidak ada yang mencoba, maka perubahan itu pun tidak ada. 

Meskipun sepanjang perjalanan karier-nya, Uut sering dianggap sebelah mata, karena dirinya perempuan. Itu juga tidak menyulutkan semangat Uut untuk memberikan manfaat untuk orang lain.

Uut memang sudah lama tertarik dengan penyakit menular, itu juga yang dia tekuni ketika menempuh pendidikan S3 di Umea University Sweden in 2002.

Dia tetarik dengan penyakit menular, lantaran banyak orang tidak peduli dengan penyakit ini. 

"Penyakit demam berdarah ini menarik, karena enggak banyak yang peduli. Orang lebih peduli, gigi, HIV, dan malaria, sangat menarik dari pendanaan. 

Saya tertarik dengan penyakit menular, pendidikan S3 saat itu mengambil topik malaria. Habis itu, TBC, kemudian memulai masuk ke demam berdarah," jelasnya.

Setelah lulus, Uut juga menekuni penyakit demam berdarah, yang menurutnya sering membuat kepanikan musiman sehingga memang perlu diatasi. 

Ya, karena penyakit ini juga belum ada obatnya sehingga harus dicegah. Tapi, tak hanya dengan mengedukasi masyarakat soal jaga kebersihan, melainkan menemukan sesuatu untuk mencegahnya.

"Demam berdarah masyarakat secara umum tahu, panik musiman, terus menerus ada setiap tahun. Tidak ada obatnya, enggak banyak perhatian untuk demam berdarah ini," jelasnya. 

Di situlah, Uut mulai meneliti nyamuk bersama rekannya di World Mosquito Program Yogyakarta. Hingga akhirnya, lulusan Maternal and Child Health from the University of College London ini menemukan Wolbachia. 

Tapi, perjalanannya pun tidaklah mulus, karena Uut harus mengedukasi masyarakat agar mau ditanamkan telur-telur Wolbachia tersebut. 

"Terasa frustasi. Tantangan awal itu kan menyebarkan nyamuk dalam bentuk telur. Masyarakat selama ini memahaminya dengan mematikan nyamuk.

Wolbachia ini melawan virus yang ada di tubuh nyamuk. Ketika sudah frustasi, suami saya membimbing saya untuk mengingat kembali kenapa saya mengambil pilihan ini. Ini buat saya termotivasi," jelasnya.

Baca Juga: Marsda Reki Irene Lumme, Perempuan Pertama yang Raih Karier Bintang Dua di TNI AU

Dukungan suami dan anak

Namun, Uut merasa keberhasilannya di posisi ini juga tidak akan berhasil, apabila tidak mendapatkan dukungan dari keluarga.

"Almarhum suami saya itu juga dosen. Dan, dia sangat mendukung saya. Kami suka belajar. Waktu saya mengambil pendidikan di luar negeri, itu kami bisa jalanin LDR.

Dan, anak saya sangat pengertian dengan kedua orangtuanya. Saya suka membawa anak saya itu juga ke mana-mana, ketika mengajar, waktu dia masih kecil dulu," jelasnya.

Dengan cara ini, Uut pun merasa dia tidak pernah jauh dari suami dan anaknya.

Itulah yang membuat Uut juga semangat, karena dia memiliki support system tebaik untuk hidupnya.

Namun, belum lama ini, suaminya meniggal dunia, lantaran Covid-19. Menurutnya, itulah fase terberat dalam hidupnya, ketika harus kehilangan pasangan, teman, sekaligus sahabat untuknya. 

Kata Uut dengan mata berkaca-kaca, "Tahun lalu, suami saya meninggal dunia. Itu fase terendah dalam hidup saya. Karena, saya kehilangan sahabat terbaik saya," 

Meski berat, tapi Uut masih mengenang banyak kisahnya dengan suami, terutama cara suaminya mendukung karier Uut di bidang pendidikan.

"Memang penting untuk perempuan mencari pasangan yang bisa mendukung, serta mau diajak melakukan hal secara setara. Itu saya sangat bersyukur, suami saya begitu ke saya," ujarnya. (*)