Mengenal Gen Z, Generasi yang Sering Disalahpahami sebagai Pemalas

Vregina Voneria Palis - Jumat, 13 Agustus 2021
Ilustrasi Gen Z di dunia kerja
Ilustrasi Gen Z di dunia kerja Office photo created by tirachardz

 

Parapuan.co - Kawan Puan, generasi Gen Z menganggap generasinya sebagai generasi pekerja keras, meski kerap dianggap pemalas.

Melansir dari situs Ehstoday, dari hasil survei yang dilakukan Workforce Institute kepada 3400 Gen Z di 12 negara, 32 persen Gen Z menyatakan bahwa mereka adalah generasi pekerja keras.

"Meskipun generasi muda disebut malas oleh generasi yang lebih tua, Gen Z menganggap diri mereka sendiri adalah pekerja keras," jelas Dan Schawbel, Direktur Riset dari Future Workplace.

Namun walau begitu, 36 persen dari Gen Z juga percaya bahwa mereka adalah generasi yang paling sulit masuk ke dunia kerja.

Baca Juga: Sussane Mikhail, Direktur Regional UN Women yang Puji Ketangguhan Para Perempuan Lebanon

Bukan tanpa alasan, Gen Z ini sulit masuk ke dunia kerja, generasi ini memiliki karakteristik yang masih sulit dipahami oleh generasi lainnya.

Pasalnya, setiap generasi memiliki karakteristiknya masing-masing, begitu juga dengan Gen Z dalam bekerja dan di dunia kerja.

Melansir Hrtechnologist, 35 persen Generasi Z mengaku ogah bekerja kalau sedang tidak mau, 34 persen juga mengaku kesal jika harus bekerja di waktu luangnya.

Mereka juga kurang suka melakukan shift yang jaraknya terlalu rapat (back-to-back shift).

"Mereka memiliki perasaan kuat mengenai bagaimana dan kapan mereka mau bekerja, terutama dibandingkan generasi sebelumnya," ujar Executive Director The Workforce Institute di Kronos, Joyce Maroney.

Nah, karakeristik Gen Z ini yang sering membuat mereka dianggap sebagai pemalas, Kawan Puan.

Padahal potensi Gen Z sebenarnya cukup besar jika dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan. Hanya, perusahaan harus memahami kebutuhan dari generasi ini.

"Untuk menginspirasi mereka melakukan pekerjaan terbaiknya, di awal perjalanan perusahaan harus membantu mereka, memberi pelatihan, fleksibilitas dan bimbingan."

"Generasi digital ini mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi dan peka terhadap kecemasan."

"Oleh karena itu, Gen Z mencari pemimpin yang mempercayai, mendukung kebutuhan, dan menunjukkan kepedulian terhadap mereka sebagai manusia, bukan hanya sebagai karyawan," ucap Dan.

Anxious Optimism

Dari hasil studi Workforce, 50 persen Gen Z yang sedang magang dan sepertiga Gen Z yang bekerja penuh waktu merasa “cukup optimis” dengan masa depan profesi mereka.

Namun, generasi ini memiliki hambatan emosional yang harus diselesaikan sebelum masuk dunia kerja, seperti kecemasan (34 persen), kurang motivasi (20 persen), dan rendah diri (17 persen).

Baca Juga: Ini Tokoh Perempuan yang Menginspirasi Hannah Al Rashid Menjadi Aktivis

People Over Tech

Meskipun digital natives, 75 persen Gen Z lebih suka menerima feedback dari  atasan secara langsung, dan 39 persen lebih suka berkomunikasi dengan tim secara langsung.

Sepertiga dari Gen Z mengukur keberhasilan mereka berdasarkan rasa hormat yang mereka dapat dari rekan kerjanya (34 persen) dan penghargaan yang mereka dapat dari manajernya (32 persen).

Sekolah Tidak Mempersiapkan Mereka Masuk Dunia Kerja

Hanya 39 persen Gen Z yang menilai pendidikan (sekolah menengah) ikut mempersiapkan mereka masuk ke dunia kerja, sementara pendidikan di level perguruan tinggi sekitar 42 persen.

Gen Z mengatakan, mereka tidak siap diatur oleh orang lain (21 persen), tetapi mereka memiliki kemampuan yang cukup untuk bekerja dalam tim (57 persen).

Bahkan, ada juga yang menyelesaikan project sesuai deadline (57 persen) dan mampu bekerja dengan pelanggan (56 persen). (*)