Sempat Ragu Jadi Dewas KPK, Ini Kisah Albertina Ho yang Pantang Mundur Melawan Korupsi

Shenny Fierdha - Kamis, 22 April 2021
Albertina Ho
Albertina Ho Biro Humas KPK

Parapuan.co - Anggota Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Albertina Ho mengaku sempat ragu saat Presiden Joko Widodo menunjuknya menjadi anggota Dewas KPK pada 2019.

Ditambah Albertina Ho pun harus cepat-cepat memberikan kepastian kepada orang nomor satu Indonesia tersebut terkait mandat besarnya ini.

Albertina mengungkapkan hal ini ketika berbincang tatap muka dengan PARAPUAN di gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (19/4/2021).

Baca Juga: Dewas KPK Albertina Ho: Jangan Ada Standar Ganda dalam Keluarga

"Ragu itu pasti. Keraguan saya itu sebenarnya lebih ke saya harus meninggalkan profesi (awal) saya (sebagai hakim) yang sudah saya tekuni sejak 1986 sampai 2019.

Saya juga didesak untuk memberikan kepastian segera (terkait penunjukan sebagai anggota Dewas KPK oleh Presiden)," kenang Albertina.

Meski ragu, namun menurutnya keraguan tersebut adalah wajar mengingat dia harus meninggalkan pekerjaan yang sudah sangat familiar dengannya.

Sebelum menjejakkan kaki ke komisi antirasuah, perempuan kelahiran 1960 tersebut memang pernah menjadi hakim di berbagai daerah seperti Yogyakarta dan Palembang, Sumatera Selatan.

"Saya pikir itu cukup normal bagi orang yang pindah ke tempat baru. (Ibaratnya) tempat baru masih gelap (karena kurang diketahui), sementara tempat yang dulu kan terang-benderang (sudah familiar)," terang Albertina.

Akibat keraguan yang terus berkecamuk dalam dirinya, apakah dia harus maju ke KPK atau tidak, dia akhirnya memutuskan untuk berdoa kepada Yang Maha Kuasa.

Dia hanya bisa meminta petunjuk Tuhan dan memasrahkan diri kepada-Nya.

Baca Juga: Ini Alasan Perempuan Harus Berani dan Tegas dalam Melawan Korupsi

"Saya berdoa. Dalam doa saya, kalau orang Jawa bilang, pasrah bongkokan. Jadi, kalau ini memang kehendak Tuhan, ya sudah," ujar Albertina.

Ringkasnya, pasrah bongkokan adalah kondisi ketika individu berserah diri sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa.

Setelah berdoa, dia lalu memilih untuk mengemban amanah sebagai anggota Dewas KPK sesuai dengan instruksi dari Presiden Jokowi.

"Mungkin ini sudah jalannya. Saya harus (bekerja di) KPK dulu.

Saya juga diberhentikan (dinonaktifkan) sementara (dari posisi hakim), baru setelah itu kembali jadi hakim. Tuhan luar biasa," kisah Albertina.

Mulai dari Nol

Meski demikian, pekerjaan barunya di KPK yang mulai ditekuni Albertina sejak Desember 2019 tidaklah mudah.

Terlebih, Dewas KPK adalah lembaga baru yang memang baru eksis pada 2019.

Merujuk situs Kpk.go.id, salah satu dasar hukum pembentukan Dewas KPK adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca Juga: KPK Ungkap Bahwa Perempuan Punya Peran Penting untuk Mencegah Korupsi, Caranya?

Poin mengenai pembentukan Dewas KPK tertuang dalam Pasal 37 Undang-Undang tersebut.

"Ini kita (Dewas KPK) harus memulai sesuatu dari nol. Tidak mudah memulai sesuatu dari nol," ucap Albertina.

Tapi dia tidak merinci apa saja yang dialaminya ketika pertama berkantor di Gedung Merah Putih KPK bersama empat anggota Dewas lainnya.

Adapun ke empat orang anggota lainnya tersebut yakni Artidjo Alkostar (almarhum), Syamsuddin Haris, Harjono, dan Tumpak Hatarongan Panggabean.

Sebagai catatan, Kompas.com memberitakan bahwa sejauh ini belum ada pengganti Artidjo yang meninggal pada Februari 2021 karena penyakit paru dan jantung. 

Meski pekerjaan sebagai anggota Dewas KPK terbilang sulit, namun Albertina pantang menyerah.

Baca Juga: Peran Keluarga Ajarkan Anak Nilai Moral untuk Cegah Perilaku Koruptif

"Seberat apapun tantangannya, halangannya, harus saya selesaikan. Tidak boleh mundur," pungkas Albertina.

Sebelum mendarat di badan antirasuah, Albertina pernah menjabat sebagai hakim di beberapa daerah di Indonesia.

Salah satunya adalah sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan, Sumatera Utara, pada 2016 sampai 2019.

Dia lulus dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 1985.(*)