Kecantikan Mulai Menyita Waktu dan Energi, Akankah Kita Menuju Beauty Burnout?

Arintha Widya - Rabu, 10 September 2025
Serba-serbi tentang kecantikan yang mulai melelahkan.
Serba-serbi tentang kecantikan yang mulai melelahkan. MARHARYTA MARKO

Parapuan.co - Dunia kecantikan saat ini semakin terasa melelahkan. Rasanya, energi dan waktu sudah mulai terkuras memikirkan bagaimana merawat diri dengan baik, menggunakan berbagai produk dan teknik perawatan kecantikan.

Disebutkan dalam bagian dari seri "Future of Appearance", kumpulan artikel yang menyelidiki seperti apa penampilan kita dalam 20 tahun, Vogue mencatat bahwa paradigma yang berlaku bukan lagi sekadar merawat diri, melainkan “high maintenance to be low maintenance” — upaya besar untuk terlihat seolah-olah effortless.

Dari sulam alis dan bibir semi permanen, perawatan bulu mata, terapi cahaya merah, hingga pijat wajah dengan arus mikro, semuanya dilakukan demi mencapai tampilan “alami” yang ternyata penuh kerja keras. Bahkan rutinitas pagi, yang kini disebut morning shed, dipenuhi dengan ritual melepas masker wajah, lip tint peel-off, sampai hair curler tanpa panas — seolah persiapan hari dimulai dengan mengumpulkan sampah sisa perawatan malam.

Fenomena ini menjangkau semua kelompok usia. Anak-anak praremaja sudah memakai produk anti-aging, nenek-nenek mencari “glamma makeover”, sementara di tengah-tengah, ada orang berusia 38 tahun yang rela menghabiskan Rp2,3 miliar untuk facelift preventif.

Menurut International Society of Aesthetic Plastic Surgery, prosedur non-bedah seperti botox dan filler meningkat hampir 58 persen antara 2019 dan 2023. Semua itu tentu memerlukan biaya besar, waktu berulang, dan komitmen seumur hidup.

"Kecantikan telah menjadi bagian yang begitu menyita waktu dan energi dalam kehidupan orang-orang selama dekade terakhir. Rasanya hampir tak terbandingkan," ujar Zeynab Mohamed, jurnalis industri kecantikan dan penulis Face Value.

Namun, ia juga mengakui, rutinitas kecil kini terasa seperti beban berat. Bukan hanya konsumen yang kewalahan, tapi juga para influencer yang mulai meninggalkan dunia ini karena kelelahan mental dan finansial.

Beauty Burnout di Tengah Krisis Global

Pertanyaan yang kini muncul: apakah kita menuju beauty burnout? Tanda-tandanya sudah terlihat. Trend forecaster WGSN bahkan memprediksi fenomena Great Exhaustion yang akan memuncak pada 2026, dipicu krisis global yang saling menumpuk — dari perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, biaya kesehatan yang meroket, hingga perang yang tak berkesudahan.

Baca Juga: Tren Kecantikan 2025, Dari Skincare Gen Z hingga Brand K-Beauty Premium

Dalam sejarah, rutinitas kecantikan memang sering berkembang seiring guncangan politik. Krisis finansial 2008 melahirkan budaya riasan ala Kardashian dengan lapisan foundation, contour, dan highlighter.

Setelah Donald Trump terpilih pada 2016, skincare dipromosikan sebagai self-care dan bahkan dianggap “bentuk perlawanan politik”, seperti dikutip dari aktivis Audre Lorde. Pandemi Covid-19 memperparah obsesi itu: pertemuan Zoom memicu lonjakan botox, dan tingkat operasi plastik naik 19 persen dalam dua tahun.

Dengan kata lain, rutinitas kecantikan bukan lahir meski ada kekacauan, melainkan justru karena kekacauan. Seperti diungkapkan Brooke Devard, podcaster Naked Beauty, "Pada 2020 orang-orang benar-benar hiper-fokus pada kecantikan. Jumlah pendengar saya melonjak saat pandemi."

Aesthetic Inflation: Standar Baru yang Mencekik

Normalisasi filler, operasi, dan rutinitas skincare ekstrem selama satu dekade terakhir telah menciptakan fenomena aesthetic inflation: standar kecantikan yang terus meningkat. Tak cukup lagi terlihat segar, kini orang harus tampak sempurna. Dan ketika seseorang mencoba keluar dari siklus ini, risiko sosial dan profesional langsung menghantui.

Seorang responden survei anonim tentang standar kecantikan mengatakan, "Saya penyandang disabilitas dan autis, dan perawatan kecantikan bagi saya adalah bagian dari masking. Jika saya tampil apa adanya — kusut, wajah polos, tampak sakit — disabilitas saya akan terlihat jelas dan pekerjaan saya terancam."

Responden lain menambahkan, "Rasanya melelahkan, apalagi semakin tua. Tapi saya tahu saya harus melakukannya. Itu berpengaruh pada peluang kerja dan cara orang menilai saya."

Di sini terlihat jelas, kecantikan bukan lagi pilihan personal, melainkan strategi bertahan hidup. Penelitian juga menunjukkan orang yang dianggap menarik lebih mudah diterima bekerja. Maka tak heran, meski lelah, banyak orang tetap terjebak dalam lingkaran ini.

Antara Kritik dan Ketergantungan

Baca Juga: Inovasi Perawatan Kecantikan dan Kesehatan, Stem Cell Jadi Primadona Baru

Ironisnya, bahkan para pengkritik paling vokal industri kecantikan pun masih sulit lepas darinya. Zeynab Mohamed mengaku rutinitasnya melelahkan, tetapi tetap dilakukan. Lee Tilghman, mantan influencer yang kini menulis memoar, tetap memamerkan highlight rambut barunya.

Di pesta peluncuran novel Aesthetica, suntik Dysport bahkan ditawarkan gratis. Sutradara film The Substance, Coralie Fargeat, terang-terangan berkata ia akan menggunakan “substansi” itu jika nyata.

Di sisi lain, inflasi ekonomi juga berperan. Harga produk kecantikan premium naik hampir 9 persen dalam setahun terakhir. Zeynab berpendapat, "Saya tidak yakin para penggemar kecantikan akan meninggalkan rutinitas mereka, tapi mereka akan jadi lebih strategis dalam membelanjakan uang."

Artinya, pergeseran mungkin terjadi pada cara konsumsi, bukan pada obsesi itu sendiri.

Kecantikan di Ambang Batas

Apakah dunia kecantikan akan runtuh oleh kelelahan konsumennya? Sepertinya tidak. Justru rasa lelah itu sendiri dijadikan “masalah baru” untuk dijual solusinya: produk anti-stres, serum anti-polusi, suplemen tidur, hingga perawatan untuk keriput punggung.

"Burnout bisa memanifestasikan diri secara fisik," kata Tilghman, yang berpengalaman langsung mengalaminya. Rambut rontok, jerawat, kulit kusam, hingga penuaan dini akan terus dipasarkan sebagai “masalah yang bisa diatasi”.

Mungkin pepatah lama lebih relevan jika dibalik: kecantikan bukanlah penderitaan, melainkan penderitaanlah yang menjadi bahan bakar kecantikan.

Dalam dunia yang terasa tidak stabil, orang berusaha mengendalikan satu hal yang masih bisa kita atur, yaitu wajah kita sendiri.

Baca Juga: Ini Strategi Inovasi Produk dan Kunci Bertahan di Pasar Kecantikan Menurut Luxcrime

(*)

Sumber: Vogue
Penulis:
Editor: Arintha Widya