Kecantikan Mulai Menyita Waktu dan Energi, Akankah Kita Menuju Beauty Burnout?

Arintha Widya - Rabu, 10 September 2025
Serba-serbi tentang kecantikan yang mulai melelahkan.
Serba-serbi tentang kecantikan yang mulai melelahkan. MARHARYTA MARKO

Dalam sejarah, rutinitas kecantikan memang sering berkembang seiring guncangan politik. Krisis finansial 2008 melahirkan budaya riasan ala Kardashian dengan lapisan foundation, contour, dan highlighter.

Setelah Donald Trump terpilih pada 2016, skincare dipromosikan sebagai self-care dan bahkan dianggap “bentuk perlawanan politik”, seperti dikutip dari aktivis Audre Lorde. Pandemi Covid-19 memperparah obsesi itu: pertemuan Zoom memicu lonjakan botox, dan tingkat operasi plastik naik 19 persen dalam dua tahun.

Dengan kata lain, rutinitas kecantikan bukan lahir meski ada kekacauan, melainkan justru karena kekacauan. Seperti diungkapkan Brooke Devard, podcaster Naked Beauty, "Pada 2020 orang-orang benar-benar hiper-fokus pada kecantikan. Jumlah pendengar saya melonjak saat pandemi."

Aesthetic Inflation: Standar Baru yang Mencekik

Normalisasi filler, operasi, dan rutinitas skincare ekstrem selama satu dekade terakhir telah menciptakan fenomena aesthetic inflation: standar kecantikan yang terus meningkat. Tak cukup lagi terlihat segar, kini orang harus tampak sempurna. Dan ketika seseorang mencoba keluar dari siklus ini, risiko sosial dan profesional langsung menghantui.

Seorang responden survei anonim tentang standar kecantikan mengatakan, "Saya penyandang disabilitas dan autis, dan perawatan kecantikan bagi saya adalah bagian dari masking. Jika saya tampil apa adanya — kusut, wajah polos, tampak sakit — disabilitas saya akan terlihat jelas dan pekerjaan saya terancam."

Responden lain menambahkan, "Rasanya melelahkan, apalagi semakin tua. Tapi saya tahu saya harus melakukannya. Itu berpengaruh pada peluang kerja dan cara orang menilai saya."

Di sini terlihat jelas, kecantikan bukan lagi pilihan personal, melainkan strategi bertahan hidup. Penelitian juga menunjukkan orang yang dianggap menarik lebih mudah diterima bekerja. Maka tak heran, meski lelah, banyak orang tetap terjebak dalam lingkaran ini.

Antara Kritik dan Ketergantungan

Sumber: Vogue
Penulis:
Editor: Arintha Widya