Parapuan.co - Anak-anak generasi sebelumnya mungkin tumbuh bersama kartun Sabtu pagi atau tayangan Nickelodeon. Namun, untuk Generasi Alpha—anak-anak yang lahir antara 2010 hingga 2024—layar utama mereka bukan lagi televisi, melainkan ponsel dan tablet.
YouTube, TikTok, dan Twitch menjadi "saluran utama" mereka, dengan tontonan berupa konten buatan pengguna, mulai dari video unboxing, gaming, hingga live streaming kehidupan sehari-hari.
Dunia Tanpa Batas: Internet Sejak Lahir
Gen Alpha adalah generasi pertama yang benar-benar tidak pernah hidup tanpa internet, media sosial, dan ponsel pintar. Mereka terbiasa dengan konten yang tersedia kapan saja dan bisa dipersonalisasi sesuai minat.
"Anak-anak sekarang tidak menunggu acara ditayangkan—mereka mengharapkan konten tersedia seketika, sesuai minat, dan terhubung secara sosial," jelas psikolog klinis Michael Wetter seperti dikutip dari Parents.
"Mereka tidak sekadar menonton, tapi juga me-remix, mengomentari, dan membagikannya. Ini bukan sekadar hiburan, tapi cara mereka mengekspresikan identitas dan merasa dilihat," imbuhnya.
Dari TV ke Tablet: Perubahan Kebiasaan Menonton
Jika anak milenial dulu ditemani Dora the Explorer atau Hannah Montana, Gen Alpha lebih akrab dengan Cocomelon, Blippi, atau Ms. Rachel—semuanya bermula dari YouTube. Menurut Precise TV, 87% anak usia 2–5 tahun lebih memilih menonton YouTube ketimbang layanan lain. Bahkan, laporan Common Sense Media menemukan bahwa 40% anak usia 2 tahun sudah memiliki tablet sendiri.
Kebiasaan ini didukung oleh faktor praktis: ponsel dan tablet mudah diberikan orang tua di restoran, ruang tunggu, atau perjalanan. "YouTube dan aplikasi berbasis ponsel tersedia di mana saja, gratis, dan itu menambah daya tarik bagi keluarga yang sibuk," kata Devorah Heitner, PhD, penulis Growing Up in Public.
Baca Juga: 8 Cara Menyeimbangkan Screen Time dan Play Time Anak di Akhir Pekan
Daya Tarik Twitch: Dari Hobi Jadi Mimpi Karier
Bagi anak yang lebih besar, Twitch menjadi ruang interaksi baru. Awalnya fokus pada gaming, kini platform ini juga dipenuhi konten "day in the life". "Bagi sebagian anak, streaming bukan hanya berbagi hobi, tapi juga mengejar mimpi besar," ujar psikolog klinis Scott H. Kollins.
"Sama seperti dulu ada anak yang bercita-cita jadi atlet profesional, kini ada yang bermimpi jadi streamer besar atau bintang e-sports," imbuhnya. Namun, sifat Twitch yang serba langsung tanpa sensor membawa risiko. Anak bisa terpapar bahasa kasar, perilaku ekstrem, atau bahkan interaksi berbahaya di ruang chat.
Dr. Wetter mengingatkan, "Karena platform live sangat mengutamakan keterlibatan, streamer bisa bertindak berlebihan atau sembrono hanya untuk menarik perhatian."
Risiko Konten Tidak Tersaring
Meski YouTube meluncurkan YouTube Kids sebagai opsi lebih aman, tetap ada celah. Beberapa konten tak pantas masih bisa lolos. "YouTube Kids lebih terkurasi, tapi jauh dari sempurna. Tidak ada yang bisa menggantikan pengawasan aktif dan percakapan terbuka dengan anak," ujar Titania Jordan, Chief Parenting Officer Bark Technologies.
Risiko lain adalah dampak perkembangan. Anak-anak cenderung menggunakan layar bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk mengatur emosi. Dr. Wetter menegaskan, "Ketika akses konten tidak terfilter, anak bisa bergantung padanya untuk regulasi emosional. Ini bisa terlihat dari tantrum saat diminta berhenti menonton, kesulitan fokus di sekolah, atau berkurangnya kemampuan bersosialisasi tanpa perangkat."
Bagaimana Orang Tua Bisa Membimbing?
Melarang total bukan solusi realistis. Para ahli menyarankan pendekatan berbasis batasan sehat dan keterlibatan aktif:
- Tetapkan zona tanpa gawai, misalnya saat makan atau satu jam sebelum tidur.
- Seimbangkan waktu layar dengan aktivitas fisik, seni, musik, atau bermain di luar.
- Bangun struktur digital, seperti kesepakatan keluarga tentang aturan penggunaan media.
- Tonton bersama anak, lalu diskusikan isi kontennya.
- Ajarkan literasi media, misalnya menjelaskan bahwa influencer bisa saja dibayar untuk promosi atau bahwa banyak konten sudah diatur agar tampak lebih menarik.
Baca Juga: Singapura Pertimbangkan Aturan Baru untuk Batasi Screen Time Anak
"Anggaplah bimbingan ini seperti perancah (scaffolding)," kata Dr. Kollins. "Awalnya kita bantu menopang, tapi seiring waktu perlahan dilepas agar anak bisa berdiri sendiri. Tujuannya bukan mengontrol setiap detik, tapi menciptakan keseimbangan."
Menjadi Teladan Digital
Terakhir, orang tua perlu mencontohkan perilaku digital sehat. "Mempraktikkan kebiasaan seperti menaruh ponsel saat berbicara, mengutamakan interaksi langsung, dan menghargai waktu istirahat memberi teladan penting bagi anak," jelas Dr. Wetter.
Generasi Alpha tumbuh di dunia digital yang selalu aktif dan penuh konten. Dengan pendampingan yang tepat, mereka tidak hanya bisa menikmati teknologi, tetapi juga belajar menggunakannya secara sehat, kritis, dan bertanggung jawab.
(*)