Meski dicap simbol kemewahan yang buta realitas, Marie Antoinette juga memberi kontribusi penting: ia membuka ruang bagi perempuan dalam lingkaran kekuasaan. Ia membuktikan bahwa seorang ratu tidak harus hanya menjadi ikon estetika, tapi juga bisa menjadi aktor politik.
Apa yang Bisa Indonesia Pelajari di Situasi Politik Saat Ini?
Kisah Marie Antoinette adalah peringatan abadi: penguasa yang gagal membaca denyut rakyat bisa tersapu gelombang sejarah. Di Indonesia hari ini, ketika publik ramai menyuarakan tuntutan—mulai dari transparansi anggaran hingga keadilan sosial—kesenjangan antara elit dan masyarakat bisa berbahaya jika dibiarkan melebar.
Kita bisa membayangkan, jika pemerintah hanya sibuk berputar di lingkaran kekuasaan tanpa membuka ruang dialog yang bermakna, bukan tidak mungkin lahir ketidakpercayaan publik yang makin dalam. Dalam konteks inilah, sejarah Marie Antoinette relevan: ia bukan hanya ratu yang jatuh karena pesta dan berlian, melainkan simbol bagaimana persepsi rakyat bisa lebih kuat daripada fakta.
Sejarawan Amerika, Thomas Jefferson, bahkan pernah berujar, "Saya selalu percaya, jika tidak ada seorang ratu, mungkin tidak akan ada revolusi." Kalimat ini menggambarkan betapa besar peran simbolik seorang pemimpin dalam menentukan legitimasi sebuah rezim.
Akhir yang Tragis, Warisan yang Abadi
Marie Antoinette akhirnya dihukum mati dengan guillotine pada 16 Oktober 1793, sembilan bulan setelah suaminya dieksekusi. Usianya baru 37 tahun. Namun, warisannya tetap hidup—sebagai pengingat bahwa glamoritas kekuasaan tanpa legitimasi sosial hanya mempercepat kejatuhan.
Bagi Indonesia, kisah ini adalah cermin. Kekuasaan tidak hanya diukur dari kemampuan mengatur negara, tetapi juga dari kepekaan membaca aspirasi rakyat. Jika istana terlalu jauh dari suara jalanan, sejarah mungkin kembali mengulang dirinya.
Baca Juga: Kisahnya Diangkat dalam Drakor Queen Woo, Siapa Sosok Ratu Woo Sebenarnya?
(*)