Parapuan.co - Di Indonesia, prevalensi penyakit kritis seperti stroke, sakit jantung, diabetes, hingga gagal ginjal terus meningkat. Kini, penderitanya pun semakin muda dan mayoritas masih berada pada usia produktif.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, di mana penyakit kritis tidak lagi identik dengan usia lanjut.
Akibatnya, banyak keluarga yang tiba-tiba harus berhadapan dengan beban pengobatan tinggi, hilangnya sumber penghasilan, dan bahkan terjebak dalam utang.
Pada 2023, biaya kesehatan juga meningkat tajam. Menurut Kemenkes, inflasi kesehatan mencapai 13,6 persen atau jauh di atas rata-rata kenaikan pendapatan masyarakat yang hanya sekitar 8-10 persen.
Kondisi ini membuat 70 persen keluarga yang terkena penyakit kritis jatuh ke dalam krisis keuangan, lantaran tidak semua biaya pengobatan penyakit kritis ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Perencana keuangan Rista Zwestika menjelaskan, rapuhnya kondisi keuangan keluarga tidak hanya disebabkan oleh biaya kesehatan yang mahal, tetapi juga mindset dan kebiasaan finansial masyarakat.
“Banyak orang dengan gaji besar tetap defisit tiap bulan. Masalahnya bukan pada jumlah uang (yang dimiliki), tetapi pada mindset dan kebiasaan (mengatur) keuangan,” ungkapnya.
Penjelasan tersebut dipaparkan Rista dalam webinar Parapuan bersama MSIG Life bertajuk “Investasi Terbaik untuk Diri: Menata Money Habit di Tengah Ancaman Penyakit Kritis” yang berlangsung melalui Zoom Meeting pada Kamis (28/8/2025).
Pada kesempatan tersebut, ia menyoroti rendahnya literasi keuangan di Indonesia. Saat ini, tingkat literasi baru 66 persen, sedangkan inklusi keuangan sudah lebih dari 80 persen.
Kesenjangan antara literasi dan inklusi produk serta layanan keuangan ini membuat masyarakat rentan terjebak utang konsumtif, mulai dari paylater, kartu kredit, hingga investasi bodong.
“Karena itu, langkah pertama yang harus dibangun adalah kesadaran bahwa pengelolaan keuangan adalah fondasi untuk menghadapi risiko,” jelasnya.
/photo/2025/09/01/cover-artikel-6jpg-20250901030011.jpg)
Rista menekankan, terdapat empat fondasi yang harus dimiliki setiap orang agar lebih siap menghadapi tantangan, termasuk mempersiapkan dana dalam mencegah penyakit kritis.
- Membuat anggaran dengan mengutamakan kebutuhan wajib sebelum keinginan. Banyak orang gagal menabung bukan karena kurang penghasilan, melainkan karena salah urut prioritas.
- Mengelola utang dengan batas maksimal 30 persen dari pendapatan. Utang produktif bisa menambah nilai, sedangkan utang konsumtif justru menjadi beban.
- Menyiapkan dana darurat, minimal enam kali pengeluaran bulanan untuk lajang, sembilan kali untuk pasangan, dan dua belas kali untuk keluarga dengan anak. Dana ini penting untuk menjaga kestabilan saat menghadapi situasi tak terduga.
- Melengkapi diri dengan proteksi, baik asuransi jiwa, kesehatan, maupun penyakit kritis.
“Tanpa fondasi ini, keuangan kita rapuh dan mudah goyah saat risiko datang,” jelas Rista.
Asuransi penyakit kritis, proteksi yang sering terabaikan
Manfaat kepemilikan asuransi penyakit kritis (DOK. Istimewa)
Dari keempat fondasi, Rista menyebut, kepemilikan asuransi penyakit kritis kerap dilupakan. Padahal, proteksi inilah yang paling penting.
Rista menjelaskan, asuransi kesehatan hanya menanggung biaya rawat inap, sementara asuransi jiwa memberikan santunan saat tertanggung meninggal.
Berbeda dari keduanya, asuransi penyakit kritis justru memberikan uang tunai ketika ada diagnosis penyakit kritis, baik stadium awal maupun lanjut.
Dana ini bisa digunakan untuk membiayai pengobatan, mengganti penghasilan yang hilang, membayar cicilan, atau sekadar menjaga keberlangsungan hidup keluarga.
“Asuransi penyakit kritis sering diabaikan, padahal inilah proteksi yang paling dibutuhkan. Kalau dibeli saat masih muda dan sehat, preminya jauh lebih terjangkau,” tegasnya.
Tips sebelum membeli asuransi
Penyakit kritis bisa datang kapan saja dan berdampak besar pada kondisi finansial. Karena itu, penting untuk memilih proteksi yang tepat sejak dini. Menurut perencana keuangan Rista, perlindungan ideal setidaknya lima kali penghasilan tahunan, dengan premi yang tetap sesuai kemampuan. Polis juga sebaiknya ditinjau berkala karena kebutuhan proteksi akan berubah seiring usia dan aset.
Menjawab kebutuhan masyarakat modern, MSIG Life menghadirkan Fortify, platform digital asuransi yang fleksibel, mudah diakses 24/7, serta memungkinkan pengguna membeli, mengelola, dan menambah proteksi tanpa harus datang ke kantor. Produk yang tersedia beragam—mulai dari asuransi penyakit kritis, jiwa, hingga kecelakaan, dengan premi yang lebih terjangkau, terutama bila dibeli sejak usia muda.
Selain Fortify, MSIG Life juga menghadirkan pilihan proteksi penyakit kritis yang komprehensif. Salah satunya adalah SECURE (Smile Critical Ultima Care) yang memberikan manfaat hingga 175% Uang Pertanggungan, perlindungan atas 149 penyakit kritis lengkap dengan pemeriksaan dini kanker, serta pilihan bayar singkat hanya 5 tahun untuk perlindungan sampai usia 60 atau 75 tahun.
Untuk perlindungan tambahan, tersedia pula eSmile Critical Care (CI Fortify), yang khusus melindungi 10 penyakit kritis mayor dengan manfaat Uang Pertanggungan yang dibayarkan apabila tertanggung terdiagnosis setelah melewati masa tunggu.
Dengan berbagai pilihan ini, masyarakat bisa menyesuaikan produk sesuai kebutuhan dan gaya hidupnya. “Yang bertahan bukan yang paling kaya, melainkan yang paling siap menghadapi risiko. Dengan Fortify, proteksi finansial bisa dipersiapkan sejak dini,” tutur Rista.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai produk asuransi penyakit kritis MSIG Life, kunjungi www.msiglife.co.id, atau rasakan pengalaman berasuransi yang lebih mudah dan personal melalui https://fortify.msiglife.co.id Jika muncul pop-up karena kode referral agen belum tersedia, cukup isi form yang tersedia.