Parapuan.co - Menjadi seorang ibu sering kali berarti menghadapi kebisingan, sentuhan, dan tuntutan yang tiada henti, baik di rumah maupun tempat kerja. Tak jarang, hal ini membuat tubuh dan pikiran terasa penuh sesak hingga sulit bernapas lega. Para ahli menyebut kondisi ini sebagai overstimulasi atau kelebihan rangsangan sensorik.
Menurut terapis okupasi Larissa Geleris seperti melansir The Every Mom, "Overstimulasi terjadi ketika sistem sensorik kita dibanjiri begitu banyak input sehingga tidak bisa lagi memprosesnya secara efektif. Saat sistem saraf mencapai batas, tubuh bisa bereaksi dengan mode fight, flight, atau freeze karena mengira kita sedang dalam bahaya."
Bagi anak-anak, kita sering mengenali pemicu sensorik seperti baju gatal atau suara keras. Namun, bagi orang tua—khususnya ibu—pemicu ini kerap diabaikan karena tubuh sudah terbiasa menekan sinyal kelelahan. Padahal, di sanalah kunci regulasi emosi dimulai.
Pelatih orang tua dan guru, Chazz Lewis, menambahkan, "Sebagai orang tua, kita begitu sibuk mengejar agenda berikutnya sampai kadang memakai penutup mata. Kita bisa membantu anak mengatur emosi, tapi justru sulit menyadari dan mengatur emosi kita sendiri."
Mengapa Rasanya Semakin Berat?
Tekanan ini makin terasa dalam beberapa tahun terakhir. Dr. Courtney Glickman, terapis kesehatan mental, menjelaskan: "Mengasuh anak adalah aktivitas yang penuh stres. Tanpa dukungan keluarga besar atau teman, orang tua harus menjalankan rumah tangga sekaligus hadir penuh untuk anak-anaknya. Ketika overstimulasi dan kelelahan menumpuk, kesabaran pun menipis dan kita merasa kewalahan."
Tanda-Tanda Ibu Mengalami Overstimulasi
Psikolog Dr. Emily Guarnotta menyebut beberapa tanda umum overstimulasi:
- Mudah cemas, jengkel, atau frustasi.
- Sulit fokus dan kehilangan kesabaran.
- Merasa “hampir meledak.”
- Perubahan perilaku, dari pelupa hingga marah berlebihan.
Lewis menekankan bahwa dalam kondisi ini, reaksi kita sering tidak sejalan dengan nilai yang kita pegang. "Alih-alih merespons dengan tenang, kita bereaksi spontan. Padahal, berhenti sejenak, menyadari apa yang dirasakan tubuh, adalah sahabat terbaik untuk belajar mengatur emosi," ujarnya.
Baca Juga: Kesehatan Mental Ibu Hamil Bisa Memengaruhi Bayi dalam Kandungan, Ini Faktanya
Strategi yang Bisa Dicoba untuk Mengelola Overstimulasi
Cara setiap orang menghadapi stimulasi berbeda-beda, tergantung pengalaman hidup, kepribadian, bahkan kondisi tubuh saat itu. Dr. Guarnotta mengingatkan bahwa suasana hati, rasa lapar, kesehatan, dan kualitas tidur ikut memengaruhi. Karena itu, penting mengenali “baterai internal” masing-masing.
Beberapa langkah yang direkomendasikan para ahli antara lain:
- Latihan pernapasan dalam atau meditasi singkat.
- Menyisihkan waktu untuk olahraga atau jalan kaki.
- Menjadwalkan waktu sendirian (meski sebentar).
- Membuat daftar aktivitas sederhana untuk menenangkan diri ketika tanda-tanda overstimulasi muncul.
Menurut Lewis, berbicara terbuka soal overstimulasi juga bisa membuka percakapan lebih luas di dalam keluarga: “Sebagai orang tua, kita juga punya kebutuhan nyata. Maka penting mencari cara bersama agar semua anggota keluarga bisa saling mendukung, tanpa rasa malu atau menyalahkan.”
Ingat, Tidak Ada Orang Tua yang Sempurna
Overstimulasi mungkin terasa sangat berat, tetapi tidak berlangsung selamanya. Dr. Michele Goldman menekankan bahwa jenis stimulasi akan berubah seiring usia anak.
"Bayi identik dengan tangisan, praremaja dengan musik keras, dan remaja dengan suara teman-temannya," ungkapnya. Yang terpenting, orang tua tak perlu selalu sempurna.
Lewis pun mengingatkan, "Kadang, saat overstimulasi, kita melakukan hal yang kita sesali. Namun pelajaran yang lebih berharga daripada selalu tenang adalah menunjukkan kepada anak bahwa kita juga manusia, bisa salah, dan terus belajar mengelola emosi dengan empati."
Baca Juga: Pentingnya Postpartum Care untuk Menjaga Kesehatan Mental Ibu Melahirkan
(*)