Strategi yang Bisa Dicoba untuk Mengelola Overstimulasi
Cara setiap orang menghadapi stimulasi berbeda-beda, tergantung pengalaman hidup, kepribadian, bahkan kondisi tubuh saat itu. Dr. Guarnotta mengingatkan bahwa suasana hati, rasa lapar, kesehatan, dan kualitas tidur ikut memengaruhi. Karena itu, penting mengenali “baterai internal” masing-masing.
Beberapa langkah yang direkomendasikan para ahli antara lain:
- Latihan pernapasan dalam atau meditasi singkat.
- Menyisihkan waktu untuk olahraga atau jalan kaki.
- Menjadwalkan waktu sendirian (meski sebentar).
- Membuat daftar aktivitas sederhana untuk menenangkan diri ketika tanda-tanda overstimulasi muncul.
Menurut Lewis, berbicara terbuka soal overstimulasi juga bisa membuka percakapan lebih luas di dalam keluarga: “Sebagai orang tua, kita juga punya kebutuhan nyata. Maka penting mencari cara bersama agar semua anggota keluarga bisa saling mendukung, tanpa rasa malu atau menyalahkan.”
Ingat, Tidak Ada Orang Tua yang Sempurna
Overstimulasi mungkin terasa sangat berat, tetapi tidak berlangsung selamanya. Dr. Michele Goldman menekankan bahwa jenis stimulasi akan berubah seiring usia anak.
"Bayi identik dengan tangisan, praremaja dengan musik keras, dan remaja dengan suara teman-temannya," ungkapnya. Yang terpenting, orang tua tak perlu selalu sempurna.
Lewis pun mengingatkan, "Kadang, saat overstimulasi, kita melakukan hal yang kita sesali. Namun pelajaran yang lebih berharga daripada selalu tenang adalah menunjukkan kepada anak bahwa kita juga manusia, bisa salah, dan terus belajar mengelola emosi dengan empati."
Baca Juga: Pentingnya Postpartum Care untuk Menjaga Kesehatan Mental Ibu Melahirkan
(*)