Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Masih Diabaikan, Bagaimana Memberi Dukungan?

Arintha Widya - Rabu, 13 Agustus 2025
Survei sebut 75% persen ibu rumah tangga tidak diakui pekerjaannya.
Survei sebut 75% persen ibu rumah tangga tidak diakui pekerjaannya. rudi_suardi

Parapuan.co - Di balik pintu rumah yang tampak tenang, banyak ibu memikul beban yang nyaris tak pernah terlihat—apalagi diakui. Padahal, mereka bukan hanya mengurus rumah, tapi juga menjadi manajer logistik keluarga, perencana acara, pengatur jadwal medis, bahkan “pusat komando” untuk segala hal yang terjadi di rumah.

Sebuah survei dari Her Index yang melibatkan hampir 3.500 ibu seperti dikutip dari The Bump, mengungkap kenyataan yang selama ini banyak orang rasakan, tapi jarang dibicarakan. Yakni tentang pekerjaan ibu rumah tangga yang bersifat tak terlihat, tanpa henti, dan masih mayoritas jatuh pada perempuan.

Ibu sebagai 'Orang Tua Default'

Di banyak keluarga, ibu otomatis menjadi orang yang pertama dipanggil anak-anak untuk segala urusan—mulai dari membersihkan tumpahan minuman lima kali sehari, membereskan tumpukan mainan yang tak pernah habis, hingga mengurus semua rencana liburan dan mengepak koper.

Yang mengejutkan, 94% ibu bertanggung jawab penuh atas perencanaan perjalanan keluarga, dan 76% mengaku mengurus semua kekacauan kecil di rumah sendirian.

Lebih dari 75% mengatakan, semua kerja keras itu nyaris tak pernah disadari orang lain. Bahkan di hari ulang tahun atau Hari Ibu, lebih dari separuh ibu tetap mengatur perayaan mereka sendiri. Pekerjaan ini bukan hanya “tak terlihat”—tapi kadang dianggap tak ada.

Pasangan Belum Benar-Benar Terlibat

Meski narasi tentang ayah yang lebih terlibat mulai sering terdengar, realitasnya banyak ibu masih kesulitan berbagi beban dengan pasangan.

Hampir separuh responden mengatakan pasangan mereka selalu menunggu instruksi (“Bilang saja mau ngapain”), sementara 28% mengaku pasangannya tidak bergerak sama sekali meskipun tugas jelas menunggu.

Baca Juga: Kawan Puan Kesepian sebagai Ibu Rumah Tangga, Ini 8 Cara Mengatasinya

Bahkan ketika sudah diberi tugas, 58% ibu mengatakan butuh lebih dari seminggu bagi pasangan untuk menuntaskannya. Yang konsisten dilakukan? Bagi 36% keluarga, hanya urusan membuang sampah.

Ketidakseimbangan ini bukan hanya melelahkan secara fisik, tapi juga menggerus hubungan. Sebanyak 31% ibu berkata mereka akan memilih pasangan berbeda jika bisa mengulang dari awal, dan 30% merasa ketimpangan kerja rumah berdampak buruk pada hubungan romantis mereka.

Harga yang Harus Dibayar

Beban yang besar ini memakan korban.

  • Sebanyak 58% ibu kesulitan menemukan waktu untuk merawat diri sendiri.
  • Banyak yang tidak punya waktu sama sekali di siang hari untuk kebutuhan pribadi.
  • Hampir separuh terpaksa begadang hanya demi beberapa menit ketenangan.

Bahkan 88% mengaku harus membatalkan kegiatan pribadi karena tuntutan keluarga atau pekerjaan. Akibatnya, banyak ibu berjalan di “baterai kosong” hingga akhirnya burnout—tanpa ada yang menyadarinya.

Meski Lelah, Tetap Membesarkan dengan Harapan

Menariknya, di tengah semua tekanan itu, sebagian besar ibu tetap membesarkan anak dengan harapan akan masa depan yang lebih setara.
Sebanyak 92% ibu mendidik anak untuk ikut berkontribusi di rumah, tanpa memandang gender.

Dua pertiga lainnya memberikan tugas-tugas yang membangun rasa percaya diri, seperti memesan makanan sendiri di restoran. Harapannya sederhana: generasi berikutnya tumbuh dengan kesadaran dan keseimbangan peran yang lebih baik.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Baca Juga: Mengenal Istilah Tradwife dan Bedanya dengan Perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga

Mengurangi beban ibu bukan soal “membantu sesekali”, tapi membutuhkan perubahan menyeluruh:

  • Di tingkat keluarga: berbagi beban secara setara, tanpa menunggu diminta.
  • Di tingkat masyarakat: menyediakan cuti keluarga berbayar, akses pengasuhan anak yang terjangkau, dan mengubah budaya yang menganggap urusan rumah tangga otomatis milik ibu.
  • Di tingkat perusahaan dan merek: membuat solusi praktis untuk pekerjaan berulang, menghindari gambaran ibu yang tidak realistis, serta memberikan alat bagi pasangan untuk benar-benar terlibat.

Seperti yang disimpulkan peneliti survei, "Ketika ibu didukung, mereka tidak hanya bertahan, tapi berkembang. Dan ketika mereka berkembang, keluarga, tempat kerja, dan komunitas ikut maju bersama."

(*)

Sumber: The Bump
Penulis:
Editor: Arintha Widya