Orang dengan karakteristik performative male biasanya akan memilih untuk mengorbankan identitas aslinya hanya untuk mendapatkan branding yang diinginkan. Tujuannya pun beragam, seperti diakui hingga membuat perempuan tertarik.
Performative Male Bisa Memicu Ketegangan
Ketika performative male menjalin hubungan dengan perempuan, tak jarang situasi ini dapat menimbulkan ketegangan. Saat pasangan menyadari bahwa sikap tersebut bukan yang sebenarnya alias 'hanya topeng' untuk mendapatkan sesuatu, dari situ konflik berawal.
Hubungan yang dibangun dengan kepura-puraan pada akhirnya bisa menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan pada pasangan seiring berjalannya waktu.
Lebih jauh lagi, performative male juga bisa menjadi alat manipulasi laki-laki. Hal ini terjadi karena ia memanfaatkan 'citra baik' yang telah dibangun dan menggunakannya untuk mengontrol pasangan.
Aksinya yang lembut dan memberikan kebutuhan emosional pasangan justru dijadikan senjata untuk bertindak manipulatif hingga mengontrol.
Bukan hanya dalam hubungan asmara, karakteristik performative male juga biasa ditemukan dalam lingkungan kerja. Karakter ini sering muncul dengan tanda seperti paling aktif saat meeting hanya agar terlihat dominan.
Hal ini juga disampaikan oleh Allison Schrager, seorang kolumnis ekonomi. "Dengan latar belakang fenomena ini (performative male) bisa jadi mereka bekerja hanya untuk terlihat baik bukan kerena profesionalitas," ujar Allison dikutip dari Bloomberg.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Rekening Dormant, Penyebab dan Cara Mengatasinya
Dampak dan Risiko
Performative male yang terus-menerus tanpa keseimbangan otentik dapat menimbulkan beberapa konsekuensi seperti konflik identitas, hubungan yang rapuh karena ketidakjujuran atau mismatch ekspektasi, dan beban emosional yang meningkatkan risiko stres atau kecemasan. Terutama jika individu merasa harus terus mempertahankan topeng yang melelahkan demi bisa diterima.
Jika pasangan atau temanmu adalah seorang performative male, hindari mempermalukan atau mengejeknya secara publik. Pendekatan yang lebih efektif biasanya percakapan empati yang mengajak refleksi diri.
Tanya dengan rasa ingin tahu, bukan tuduhan agar orang itu merasa aman untuk membicarakan motif dan perasaannya. Performative male adalah gejala dari dinamika sosial yang kompleks di mana identitas gender menjadi sesuatu yang sering dipertunjukkan untuk mendapatkan pengakuan, penerimaan, atau keuntungan sosial.
Dan untuk memahaminya, kita perlu melihat baik level mikro (motif individu) maupun makro (struktur norma gender yang dominan), sehingga solusi yang efektif menggabungkan refleksi pribadi, komunikasi empati, dan perubahan norma sosial yang lebih inklusif.
(*)