Parapuan.co - Di era digital yang semakin menghubungkan sekaligus mengaburkan yang nyata dan maya, kejahatan siber terus berkembang hingga menimbulkan dampak serius, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. PARAPUAN menganggap isu kejahatan digital dengan menggunakan teknologi seperti AI (kecerdasan buatan) sama seperti tindakan kriminal lainnya, terutama yang terkait dengan kekerasan berbasis gender online atau KBGO.
Untuk itu, PARAPUAN mengundang Nenden Sekar Arum dari SAFEnet, sebuah platform yang mengadvokasi hak-hak digital untuk menyoroti sejumlah bentuk KBGO yang kini kian marak, mulai dari kebocoran data pribadi hingga potensi penyalahgunaan AI untuk memanipulasi foto dan video korban.
Kebocoran Data Pribadi dan Doxing Meningkat
Menurut Nenden, kasus kebocoran data pribadi makin sering terjadi, bahkan melibatkan lembaga resmi negara. "Sayangnya biasanya data-data yang bocor itu data-data yang dikelola oleh pemerintah," ungkapnya.
Lebih dari sekadar kebocoran, ancaman terhadap keamanan digital masyarakat juga muncul dalam bentuk doxing atau pengungkapan data pribadi untuk tujuan persekusi.
"Biasanya orang-orang yang di-doxing itu orang-orang yang cukup vokal juga ya di dunia digital. Kemudian dibuka lah datanya, kemudian diminta atau menghasut orang-orang lainnya untuk melakukan kekerasan terhadap orang tersebut," jelas Nenden.
Konten Intim dan Manipulasi AI: Ancaman Baru bagi Perempuan
Salah satu bentuk KBGO yang paling banyak dilaporkan ke SAFEnet adalah ancaman penyebaran konten intim non-konsensual. Nenden menyatakan bahwa perempuan muda menjadi kelompok yang paling sering menjadi korban, baik oleh mantan pasangan maupun orang asing.
"Banyak sekali perempuan-perempuan yang menjadi korban karena diancam, misalnya oleh mantan pasangannya atau oleh orang asing supaya kontennya itu akan disebarkan ke publik," kata Nenden.
Baca Juga: Bernadya Jadi Korban Pelecehan! Ini 12 Jenis KBGO yang Wajib Diketahui
Ia menambahkan bahwa saat ini, konten yang disebarkan tidak hanya berasal dari dokumentasi asli korban, tetapi juga dari manipulasi gambar dan video menggunakan teknologi AI. "Kontennya ini juga tidak hanya memang konten intim misalnya, tapi konten yang dimanipulasi oleh AI. Jadi ini semakin banyak nih modusnya," ujarnya prihatin.
Korban Masih Disalahkan, Patriarki Jadi Akar Masalah
Dalam pandangan SAFEnet, penyebab kuat di balik maraknya KBGO di Indonesia adalah masih melekatnya nilai-nilai patriarkal dalam masyarakat. Hal ini membuat korban merasa malu, takut, bahkan terintimidasi jika konten intimnya tersebar, meski konten tersebut sebetulnya dibagikan secara pribadi dalam konteks tertentu.
“Masih kuat atau lekatnya paham-paham patriarki di Indonesia, termasuk juga kebudayaannya, sehingga korban jadinya sangat merasa takut banget kalau memang kontennya disebarkan. Karena pasti dia yang akan di-judge oleh society. Kemudian dia yang akan disalahkan, gitu ya, karena misalnya membagikan foto intimnya,” ujar Nenden.
Padahal, lanjutnya, konten tersebut awalnya tidak ditujukan untuk konsumsi publik. “Sebetulnya kan konsennya bukan untuk disebarkan lagi ya, tapi misalnya untuk spesifik orang tertentu pada waktu tertentu,” katanya.
Kebutuhan Mendesak: Perlindungan dan Keadilan
Nenden menekankan pentingnya hak untuk merasa aman di ruang digital, yang kini semakin terancam. Ia juga menilai bahwa ada kesenjangan yang besar antara perlindungan yang seharusnya diberikan oleh negara dan kenyataan yang dihadapi masyarakat pengguna internet.
Kasus-kasus KBGO ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap data pribadi dan keamanan digital belum menjadi prioritas yang kuat dalam sistem hukum dan kebijakan publik.
SAFEnet mendorong adanya regulasi dan pendekatan yang lebih berpihak kepada korban, serta edukasi publik agar masyarakat lebih memahami hak-haknya di dunia digital.
Baca Juga: Victim Blaming Bahkan Datang dari Penegak Hukum, Ke Mana Korban KBGO Menuntut Keadilan?
(*)