Budaya ini menciptakan ruang yang membolehkan laki-laki merasa lebih berkuasa dan bebas melakukan tindakan yang merendahkan atau merugikan perempuan, termasuk saat berada di tempat umum.
Banyak masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai objek, bukan subjek. Dalam tatanan sosial patriarkal, perempuan dianggap sebagai makhluk yang bisa diatur, dinilai dari penampilan, dan disalahkan atas tindakan orang lain.
Ketika seorang perempuan berjalan sendirian atau mengenakan pakaian tertentu, sering kali masyarakat justru menyalahkannya jika terjadi pelecehan. Ini adalah bentuk victim-blaming yang berbahaya dan memperparah ketimpangan gender.
Sementara merujuk dari laman Kompas.com, faktor kedua mengapa pelecehan pada perempuan terjadi di ruang publik adalah perilaku dan norma sosial. Hal ini mencakup kekerasan diterima secara budaya, perilaku kekerasan dianggap suatu yang lazim dan dapat diterima secara sosial, kurangnya respons dari penonton yang menyaksikan tindakan kekerasan.
Ketiga adalah sikap yang menormalisasikan pelecehan. Kata-kata seperti "cuma digodain" atau "itu kan biasa, tandanya cantik" menunjukkan bagaimana pelecehan sering dinormalisasi.
Banyak orang tidak sadar bahwa siulan, komentar tentang tubuh, atau menyentuh tanpa izin adalah bentuk pelecehan yang nyata. Ketika pelecehan dianggap hal biasa, maka pelaku merasa bebas melakukannya tanpa takut mendapat konsekuensi.
Pentingnya untuk Bersikap Aktif Melawan Pelecehan
Pelecehan terhadap perempuan di ruang publik bukan sekadar persoalan pribadi atau moral, tapi ini adalah masalah sosial yang mencerminkan ketimpangan struktur kekuasaan dan lemahnya sistem perlindungan terhadap kelompok rentan.
Ketika kamu memahami tentang seluk beluk pelecehan kamu bisa menjadi bagian dari perubahan baik sebagai individu yang lebih waspada, sebagai teman yang mendukung korban, atau sebagai warga yang menuntut sistem perlindungan yang lebih adil dan tegas.
Baca Juga: Patut Diapresiasi, KAI Pasang Himbauan tentang Bentuk Pelecehan Seksual di KRL
(*)