Parapuan.co - Dalam kehidupan sosial masyarakat, ada banyak pertanyaan yang dilontarkan secara spontan dan dianggap sebagai bentuk basa-basi. Salah satu pertanyaan yang kerap muncul, terutama dalam acara keluarga atau reuni sekolah ialah kapan menikah.
Bagi sebagian orang, pertanyaan ini mungkin terdengar ringan dan tidak bermaksud menyakiti. Namun, bagi banyak perempuan, terutama yang telah memasuki usia 20 akhir atau 30-an, pertanyaan ini bisa menjadi sumber tekanan mental.
Tidak sedikit perempuan yang harus menghadapi pertanyaan tersebut berulang kali dari berbagai arah, seperti dari keluarga, teman, hingga orang asing sekalipun. Mereka tanpa sadar menyentuh sisi emosional yang sensitif.
Pertanyaan ini bisa membangkitkan rasa cemas, malu, bahkan marah yang tidak mudah diungkapkan. Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma bahwa perempuan 'idealnya' menikah di usia tertentu, tekanan sosial semakin membuat perempuan merasa bahwa hidupnya harus mengikuti jadwal yang ditentukan orang lain.
Sementara menurut laman News24, ada beberapa alasan mengapa perempuan belum memutuskan menikah. Menurut Zandile Makhoba seorang pakar hubungan, hal ini rupanya dipicu berbagai hal kompleks.
"Keputusan ini (menikah) dipengaruhi oleh serangkaian faktor yang lebih luas termasuk stabilitas ekonomi dan pemenuhan pribadi. Bagi banyak perempuan, ini tentang menciptakan kehidupan yang selaras dengan nilai-nilai dan tujuan jangka panjang mereka," katanya.
Lantas, apa sebenarnya beban psikologis yang dirasakan perempuan ketika dihujani pertanyaan 'Kapan menikah?', berikut ulasan lengkapnya!
1. Perasaan Tidak Cukup Baik
Perempuan yang sering menerima pertanyaan 'Kapan menikah?' cenderung merasa bahwa hidup mereka tidak berjalan sesuai harapan orang lain.
Baca Juga: Cara Elegan Menjawab Pertanyaan Kapan Menikah bagi Perempuan Karier saat Lebaran
Hal ini bisa menimbulkan beban psikologis berupa kecemasan sosial, perasaan tidak cukup baik, dan ketidakpastian akan masa depan. Tanpa disadari, perempuan seperti ini bisa merasa bahwa pilihan hidupnya tidak sah atau tidak dihargai.
2. Memicu Kecemasan dan Gangguan Emosional
Tekanan sosial yang terus-menerus, termasuk dalam bentuk pertanyaan seputar status pernikahan, dapat memicu gangguan kecemasan dan depresi.
Bagi sebagian perempuan, pertanyaan tersebut bukan sekadar basa-basi, melainkan pemantik rasa sakit yang mendalam, terutama apabila mereka telah mengalami hubungan gagal, perceraian, atau kehilangan orang tercinta.
Seseorang mungkin tidak menyadari bahwa satu kalimat sederhana bisa mengingatkan perempuan pada luka lama, harapan yang belum tercapai, atau pergumulan batin.
Efeknya bisa berlapis, mulai dari overthinking, insomnia, hingga kehilangan motivasi untuk bersosialisasi karena takut ditanya hal yang sama.
3. Rasa Tidak Berdaya
Saat seseorang terus-menerus ditanya kapan akan menikah, dia bisa merasa bahwa pilihan hidupnya dikendalikan oleh standar orang lain. Padahal, hidup bukanlah perlombaan dan setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri.
Bagi banyak perempuan, pertanyaan tersebut menimbulkan rasa tidak berdaya. Seolah-olah hidup mereka sedang terlambat atau “tertinggal” dibanding teman sebayanya yang sudah menikah.
Perasaan ini bisa menciptakan tekanan internal seperti apakah harus buru-buru mencari pasangan agar bisa 'menjawab' ekspektasi orang lain? Apakah karier atau mimpi pribadi yang sedang dijalani menjadi sia-sia hanya karena belum menikah?
Perempuan bisa mengalami dilema emosional yang sulit disampaikan kepada siapa pun, karena sering dianggap berlebihan atau terlalu sensitif.
Baca Juga: Pakar Ungkap 5 Tanda Perempuan Berada dalam Pernikahan yang Sehat
(*)