Parapuan.co - Kekerasan seksual dalam situasi konflik bersenjata bukan hanya pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional, tetapi juga menjadi luka sosial yang dalam dan sering kali tidak tertangani yaitu stigma. Meski sudah dilarang secara tegas, kekerasan seksual tetap terjadi di sedikitnya 51 negara yang terdampak konflik.
Namun, di balik kekerasan fisik yang tercatat, ada bahaya lain yang kerap diabaikan yakni pengucilan sosial terhadap para korban. Bagaimana stigma menambah luka pada penyintas kekerasan seksual di daerah konflik? Bagaimana pula mengatasinya? Simak informasinya seperti mengutip International Committee of The Red Cross (ICRC)!
Stigma Menjadi Luka Kedua Setelah Kekerasan
Di banyak masyarakat yang terdampak konflik, korban kekerasan seksual sering kali tidak hanya harus menghadapi trauma psikologis, tetapi juga "kematian sosial". Mereka dijauhi, disalahkan, bahkan dianggap mencemari nama baik keluarga atau komunitas. Dalam situasi seperti ini, stigma bisa terasa lebih menyakitkan daripada kekerasan itu sendiri.
"Stigma adalah bentuk kekerasan kedua yang membuat korban kembali menderita secara fisik, mental, dan sosial," demikian disampaikan Komite Palang Merah Internasional atau ICRC.
Stigma tidak hanya merusak kehidupan individu, tetapi juga melemahkan solidaritas sosial dan memperlambat pemulihan masyarakat pascakonflik. Dalam konteks ini, stigma menjadi cara masyarakat bertahan hidup secara kolektif dengan mengorbankan individu yang dianggap membawa "aib" atau ancaman terhadap harmoni sosial.
Respons dan Pendekatan Komprehensif
ICRC mengambil peran aktif dalam mencegah dan merespons kekerasan seksual di daerah konflik. Mereka memberikan layanan holistik bagi para korban melalui pendekatan multidisipliner, mendorong pengurangan risiko melalui kerja sama dengan komunitas, dan menjalin dialog dengan otoritas yang memiliki kewajiban melindungi warga. Selain itu, ICRC juga bekerja sama dengan organisasi yang dipimpin oleh penyintas serta lembaga penyedia layanan kesehatan, hukum, dan dukungan psikososial.
Sejak 2022, ICRC telah melakukan konsultasi besar-besaran dengan hampir 1.000 individu di 19 negara, 27 persen di antaranya adalah penyintas kekerasan seksual. Temuan ini menunjukkan bahwa stigma bukan sekadar respons sosial, tetapi juga sistemik dan melekat dalam struktur masyarakat yang belum berpihak pada korban.
Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual pada Anak di Jepara Terkuak, Ini Kata Menteri PPPA
Rekomendasi untuk Mengurangi Stigma
Untuk merespons kompleksitas dan dampak stigma terhadap korban kekerasan seksual di daerah konflik, ICRC menawarkan empat langkah strategis yang bisa diadopsi oleh negara, lembaga donor, organisasi internasional dan lokal, serta kalangan akademik:
- Cegah Dampak Stigma Melalui Kebijakan Inklusif
Negara perlu membangun sistem hukum dan kebijakan yang tidak hanya mengakui korban, tetapi juga melindungi mereka dari diskriminasi lanjutan. - Integrasikan Upaya Pengurangan Stigma dalam Kesiapsiagaan Konflik dan Darurat
Isu stigma harus menjadi bagian dari kerangka tanggap darurat, termasuk dalam pelatihan petugas lapangan, relawan, dan pihak berwenang. - Libatkan Komunitas untuk Mengubah Perilaku dan Persepsi
Perubahan budaya tidak dapat dipaksakan dari luar. Perlu ada kemitraan erat dengan tokoh lokal, agama, maupun pemimpin adat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung korban. - Desain Layanan yang Responsif terhadap Isu Stigma
Layanan medis, psikososial, dan hukum harus dirancang dengan pemahaman mendalam tentang dampak stigma, termasuk menyediakan ruang aman bagi korban untuk bicara tanpa rasa takut.
Menghapus Stigma, Menyembuhkan Luka
Stigma terhadap korban kekerasan seksual di daerah konflik bukan hanya masalah sosial, melainkan juga isu kemanusiaan yang mendesak. Menghapus stigma berarti mengembalikan martabat korban, memperkuat solidaritas komunitas, dan mempercepat pemulihan masyarakat dari luka perang.
Perlu pendekatan yang berlapis dan berkelanjutan—bukan hanya dari lembaga internasional seperti ICRC, tapi juga dari pemerintah, masyarakat lokal, dan kita semua yang percaya bahwa tidak ada korban yang pantas disalahkan atas luka yang mereka alami.
Baca Juga: Hari Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Konflik, Langkah Memutus Siklus Kekejaman
(*)