Fenomena Revenge Meals, Ketika Orang Tua Ngemil Diam-Diam Tanpa Terlihat Anak

Arintha Widya - Selasa, 17 Juni 2025
Revenge meals yang dilakukan orang tua saat tidak bersama anak.
Revenge meals yang dilakukan orang tua saat tidak bersama anak. Choreograph

Parapuan.co - Bagi banyak orang tua, waktu setelah anak-anak tertidur menjadi momen langka untuk bernapas. Jika sebelumnya dikenal fenomena revenge bedtime procrastination—di mana orang tua begadang demi waktu me time, kini muncul tren baru yang diam-diam mulai meluas, yakni revenge meals atau “makan balas dendam”.

Fenomena ini bukan tentang makan mewah atau fancy. Justru sebaliknya, sering kali berupa makan camilan seperti permen yang disembunyikan di laci mobil, kopi manis ukuran besar sebelum masuk kantor, atau burger keju ganda yang disantap diam-diam dalam mobil. Revenge meals menawarkan satu hal penting bagi para orang tua, yaitu kendali atas waktu dan tubuh mereka sendiri, yang hampir setiap harinya didikte oleh kebutuhan anak.

Bagaimana tidak, kita sebagai orang tua membatasi makanan yang dikonsumsi anak; sebisa mungkin membiasakan anak makan real food yang bernutrisi dengan memberikan mereka contoh yang baik. Tentu, ngemil sembarangan tidak bisa kita lakukan di depan anak, bukan?

Antara Lapar Fisik dan Lapar Kendali

Menurut Alyson Curtis sebagaimana melansir Parents, konselor kesehatan mental berlisensi di New York dan pemilik Attuned Therapy, revenge meals mencerminkan bentuk perlawanan diam-diam terhadap tekanan peran sebagai pengasuh utama. “Pengabaian diri yang terus-menerus karena tuntutan mengasuh anak berdampak besar. Revenge eating adalah salah satu akibat dari hal itu,” jelasnya.

Saat anak-anak disajikan menu sehat dan bergizi, banyak orang tua justru memilih makan secara sembunyi-sembunyi. Ini bukan soal makanan sehat atau tidak, tetapi soal memiliki ruang tanpa tuntutan. Sebagaimana dijelaskan Curtis, “Rasanya seperti hak istimewa—kalau anak sudah makan dengan baik, saya boleh dong makan sesuatu yang saya suka tanpa dihakimi.”

Data dari Parents Food Study 2025 menunjukkan bahwa 8 dari 10 orang tua menempatkan kesehatan anak jauh di atas kesehatan mereka sendiri. Dua pertiga dari responden memiliki anak yang pemilih soal makanan, dan lebih dari separuhnya harus menyiapkan menu berbeda untuk anggota keluarga lain. Sementara hanya 39% orang tua yang secara rutin membolehkan anak makan junk food, banyak dari mereka mengaku tetap mengonsumsinya secara sembunyi-sembunyi.

Barry Vanderable, ayah dari remaja di California, berbagi kisahnya, “Saya punya satu kantong keripik yang saya simpan di bagasi mobil. Kalau saya bawa ke rumah, pasti habis dalam sehari. Saya rela kasih potongan ayam terakhir ke anak, tapi keripik di mobil itu? Tidak akan saya bagikan.”

Lebih dari Sekadar Lapar

Baca Juga: Anak Balita Makan Banyak dan Suka Ngemil, Kapan Orang Tua Perlu Khawatir?

Psikiater Dr. Charles Sweet menyebut revenge meals sebagai bentuk reactive self-care. “Kalau kamu diam-diam makan burger di mobil atau es krim tengah malam, saya paham. Ini sebenarnya bukan soal lapar, tapi soal kebebasan memilih. Lewat revenge eating, kamu seolah-olah merebut kembali kendali dan kesenangan, meskipun hanya sebentar,” ungkapnya.

Ia menambahkan, kondisi ini sering muncul saat orang tua dalam kondisi stres kronis dan secara tidak sadar mencari pelarian cepat. “Orang tua cuma ingin sesuatu yang sederhana, nyaman, dan tidak perlu penjelasan.”

Saat Makan Jadi Pelarian

Menurut Curtis, revenge eating punya kemiripan dengan pola binge and restrict, yaitu ketika tubuh tidak mendapat cukup makanan, lalu memunculkan dorongan makan berlebihan secara tiba-tiba. “Tubuh tidak peduli apakah kelaparan itu disengaja atau tidak. Kalau tubuh merasa kekurangan, ia akan ‘panik’ dan menyuruh kita makan banyak. Itu naluri bertahan hidup, walau dari luar tidak terlihat seperti itu.”

Amber Ginn, konsultan laktasi sekaligus pendiri The Latchlink, mengamati pola ini pada para ibu menyusui yang ia dampingi. “Sebagian besar ibu yang saya bantu kekurangan asupan. Mereka kekurangan protein, sering melewatkan makan, dan hidup dari granola bar dan kafein. Jadi wajar kalau malamnya tubuh minta sesuatu yang ‘berat’. Itu bukan sekadar lapar. Itu bentuk bertahan hidup. Itu momen otonomi dalam hari yang sepenuhnya bukan milik mereka.”

Apa yang Bisa Dilakukan?

Menghentikan pola revenge meals bukan soal disiplin, tapi soal menyadari bahwa orang tua juga layak makan enak dan sadar. Langkah pertama adalah memberi izin pada diri sendiri untuk makan dengan teratur dan menikmati momen itu tanpa rasa bersalah.

“Memang, kadang kita lakukan apa saja untuk bertahan sebagai orang tua, tapi penting untuk ingat bahwa kesehatan mental kamu juga penting. Kemampuan mengasuh yang efektif sangat bergantung pada kesejahteraan pribadi,” kata Curtis.

Bagi mereka yang kerap melewatkan makan, cobalah refleksikan alasannya. Apakah karena kelelahan, kewalahan, atau hanya terbiasa ‘mengabaikan diri’? Mengenali akar penyebab revenge eating bisa membantu menemukan solusi yang lebih tepat, baik secara fisik, emosional, maupun nutrisi.

Baca Juga: Orang Indonesia Konsumsi Camilan 3 Kali Sehari, Ini Pentingnya Ngemil Bijak

Tips sederhana yang bisa dicoba:

  • Tantang pikiran “harus begini” yang berasal dari tekanan media sosial soal pola makan.
  • Usahakan makan yang cukup dan bergizi sejak pagi, bukan hanya di malam hari.
  • Terima bahwa makan emosional itu manusiawi, terutama saat burnout atau kehilangan kendali.
  • Sisipkan ‘kebahagiaan kecil’ non-makanan seperti jalan kaki, dengar podcast, atau nyanyi sendiri di mobil.
  • Jangan ragu cari bantuan profesional. Orang tua juga butuh dukungan yang bebas dari penilaian.

Dr. Sweet menutup dengan mengingatkan, "Berlatihlah kasih sayang pada diri sendiri. Kamu bukan orang tua yang buruk hanya karena ingin punya waktu sendiri. Itu manusiawi, dan sangat valid.”

Dan satu hal penting lainnya, yaitu, “Segalanya dalam batas wajar.” Ketika anak-anak melihat orang tuanya menikmati makanan dengan tenang, tanpa rasa bersalah atau terburu-buru, mereka pun belajar bahwa makanan adalah sumber energi dan kebahagiaan—bukan alat hukuman, hadiah, atau pelarian.

(*)

Sumber: Parents
Penulis:
Editor: Arintha Widya