Psikiater Dr. Charles Sweet menyebut revenge meals sebagai bentuk reactive self-care. “Kalau kamu diam-diam makan burger di mobil atau es krim tengah malam, saya paham. Ini sebenarnya bukan soal lapar, tapi soal kebebasan memilih. Lewat revenge eating, kamu seolah-olah merebut kembali kendali dan kesenangan, meskipun hanya sebentar,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kondisi ini sering muncul saat orang tua dalam kondisi stres kronis dan secara tidak sadar mencari pelarian cepat. “Orang tua cuma ingin sesuatu yang sederhana, nyaman, dan tidak perlu penjelasan.”
Saat Makan Jadi Pelarian
Menurut Curtis, revenge eating punya kemiripan dengan pola binge and restrict, yaitu ketika tubuh tidak mendapat cukup makanan, lalu memunculkan dorongan makan berlebihan secara tiba-tiba. “Tubuh tidak peduli apakah kelaparan itu disengaja atau tidak. Kalau tubuh merasa kekurangan, ia akan ‘panik’ dan menyuruh kita makan banyak. Itu naluri bertahan hidup, walau dari luar tidak terlihat seperti itu.”
Amber Ginn, konsultan laktasi sekaligus pendiri The Latchlink, mengamati pola ini pada para ibu menyusui yang ia dampingi. “Sebagian besar ibu yang saya bantu kekurangan asupan. Mereka kekurangan protein, sering melewatkan makan, dan hidup dari granola bar dan kafein. Jadi wajar kalau malamnya tubuh minta sesuatu yang ‘berat’. Itu bukan sekadar lapar. Itu bentuk bertahan hidup. Itu momen otonomi dalam hari yang sepenuhnya bukan milik mereka.”
Apa yang Bisa Dilakukan?
Menghentikan pola revenge meals bukan soal disiplin, tapi soal menyadari bahwa orang tua juga layak makan enak dan sadar. Langkah pertama adalah memberi izin pada diri sendiri untuk makan dengan teratur dan menikmati momen itu tanpa rasa bersalah.
“Memang, kadang kita lakukan apa saja untuk bertahan sebagai orang tua, tapi penting untuk ingat bahwa kesehatan mental kamu juga penting. Kemampuan mengasuh yang efektif sangat bergantung pada kesejahteraan pribadi,” kata Curtis.
Bagi mereka yang kerap melewatkan makan, cobalah refleksikan alasannya. Apakah karena kelelahan, kewalahan, atau hanya terbiasa ‘mengabaikan diri’? Mengenali akar penyebab revenge eating bisa membantu menemukan solusi yang lebih tepat, baik secara fisik, emosional, maupun nutrisi.
Baca Juga: Orang Indonesia Konsumsi Camilan 3 Kali Sehari, Ini Pentingnya Ngemil Bijak
Tips sederhana yang bisa dicoba:
- Tantang pikiran “harus begini” yang berasal dari tekanan media sosial soal pola makan.
- Usahakan makan yang cukup dan bergizi sejak pagi, bukan hanya di malam hari.
- Terima bahwa makan emosional itu manusiawi, terutama saat burnout atau kehilangan kendali.
- Sisipkan ‘kebahagiaan kecil’ non-makanan seperti jalan kaki, dengar podcast, atau nyanyi sendiri di mobil.
- Jangan ragu cari bantuan profesional. Orang tua juga butuh dukungan yang bebas dari penilaian.
Dr. Sweet menutup dengan mengingatkan, "Berlatihlah kasih sayang pada diri sendiri. Kamu bukan orang tua yang buruk hanya karena ingin punya waktu sendiri. Itu manusiawi, dan sangat valid.”
Dan satu hal penting lainnya, yaitu, “Segalanya dalam batas wajar.” Ketika anak-anak melihat orang tuanya menikmati makanan dengan tenang, tanpa rasa bersalah atau terburu-buru, mereka pun belajar bahwa makanan adalah sumber energi dan kebahagiaan—bukan alat hukuman, hadiah, atau pelarian.
(*)