Parapuan.co - Perhatian publik masih tertuju pada kerusakan alam akibat pertambangan nikel di Raja Ampat. Hal ini membuat banyak pihak bersuara, tak terkecuali pesohor Cinta Laura Kiehl. Melalui akun media sosial pribadinya, Cinta Laura menyampaikan kritik tajam terhadap dampak industri tambang terhadap masyarakat dan ekosistem Papua.
Dalam pernyataannya di video yang diunggah di Instagram, Cinta menyoroti betapa mahalnya harga yang harus dibayar oleh masyarakat lokal demi kepentingan industri. "Berapa nilai satu nyawa manusia? Apakah satu tambang? Satu kapal pesiar? Satu deal strategis?" tanyanya retoris.
Suara yang Dihilangkan, Hutan yang Dihancurkan
Raja Ampat dikenal sebagai salah satu surga terakhir dunia, tetapi menurut Cinta, kondisi itu terancam. "Saat ini di salah satu kawasan laut paling rapuh di dunia, perusahaan-perusahaan tambang merobek hutan, mencemari air, dan mencekik terumbu karang, semua demi nikel untuk menggerakkan mobil listrik," ujar dikutip PARAPUAN.
Ironisnya, aktivitas ini disebut sebagai bagian dari kemajuan. Namun Cinta mempertanyakan narasi tersebut. "Katanya ini kemajuan. Tapi kemajuan untuk siapa? Coba tanya ke mama-mama di Papua yang sekarang kesulitan cari air bersih untuk mandiin anaknya. Coba tanya nelayan yang pulang dengan jaring kosong dan enggak bisa ngasih makan ke keluarganya."
View this post on Instagram
Eksploitasi yang Menggerus Budaya
Kerusakan ekologis tidak hanya berdampak pada alam, tetapi juga merusak kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat. "Harga sebenarnya dari tambang ini bukan sekadar ton logam yang diambil. Tapi kematian cara hidup, putusnya ikatan suci antara manusia, tanah, laut, dan budaya," kata Cinta.
Ia juga menekankan bahwa masyarakat Papua adalah penjaga sejati alam ini. "Ironisnya, masyarakat Papua yang sekarang kita rugikan dulu justru penjaga surga ini. Mereka melindungi terumbu karang jauh sebelum dunia peduli sama konservasi."
Tanpa Persetujuan, Tanpa Keadilan
Baca Juga: Ada di Dunia Kerja Maskulin, Ini Tantangan Sebenarnya Perempuan di Industri Tambang
Salah satu poin yang ditegaskan Cinta adalah pelanggaran terhadap prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), hak masyarakat adat untuk memberikan persetujuan sebelum proyek besar dijalankan di tanah mereka.
"Banyak izin tambang dikeluarkan tanpa persetujuan FPIC, hak yang dijamin oleh hukum internasional. Ada yang dipaksa, ada yang sama sekali enggak diajak bicara," ungkapnya.
Dampak Nyata: Dari Penyakit Hingga Disorientasi Budaya
Menurut laporan yang disampaikan Cinta, desa-desa di sekitar tambang sudah melaporkan munculnya penyakit kulit dan gangguan pernapasan akibat pencemaran. Air yang dulu bersih, kini tak lagi aman dikonsumsi. "Warga yang dulu minum air jernih dari mata air alami, sekarang ragu ngasih air itu ke anak-anak mereka," katanya prihatin.
Selain kesehatan, kerusakan lingkungan ini juga menyebabkan hilangnya makna hidup bagi masyarakat lokal. "Ini adalah disorientasi budaya. Putusnya hubungan spiritual dengan alam yang dulu menopang kehidupan mereka," ujar Cinta. "Apa gunanya ngajarin anak tentang terumbu karang yang sudah enggak ada lagi?"
Seruan untuk Tidak Diam
Di akhir pernyataannya, Cinta menyerukan kepada masyarakat luas untuk tidak tinggal diam. "Raja Ampat bukan sekadar pulau. Ini peringatan. Kalau kita diem aja, apa lagi yang kelompok serakah ini bakal rebut? Air kalian? Tanah kalian? Masa depan anak-anak kalian?"
Ia menutup dengan ajakan tegas, "Kita masih punya pilihan. Bersuara sekarang atau jelaskan suatu hari nanti kenapa kita diam saja."
Melalui pesan yang kuat ini, Cinta Laura tidak hanya mengingatkan tentang pentingnya pelestarian lingkungan, tetapi juga menyuarakan keadilan bagi masyarakat adat yang selama ini menjadi korban dari pembangunan yang mengabaikan hati nurani.
Baca Juga: Menjaga Raja Ampat dari Tambang Nikel, Pelestarian Alam dan Peran Pelancong Berkelanjutan
(*)