Tradisi Tak Boleh Jadi Alasan Menyerah pada Ketidakadilan
Apa yang terjadi di Lombok memperlihatkan bagaimana tradisi bisa menjadi topeng pembenaran. Dalam banyak kasus memariq, kawin lari tidak selalu atas dasar paksaan, tetapi sangat mungkin lahir dari relasi yang belum matang secara emosi dan mental.
Di sinilah pentingnya pendampingan orang tua, bukan hanya mencegah secara formal, tetapi juga mendidik anak untuk memahami konsekuensi jangka panjang dari pilihan hidup mereka.
Ketika orang tua memperlakukan anak perempuan sebagai individu yang layak dihormati dan didengarkan, maka akan tumbuh generasi perempuan yang tidak mudah dibungkam, bahkan oleh adat dan budaya yang membatasi.
Mengukir Warisan Lewat Dukungan, Bukan Penyerahan
Kita tidak membutuhkan orang tua yang sempurna. Kita membutuhkan orang tua yang hadir, yang memilih kejujuran daripada performa, pertumbuhan daripada kontrol, dan cinta yang membebaskan daripada cinta yang membatasi.
Setiap keputusan orang tua hari ini adalah warisan yang akan membentuk perempuan-perempuan masa depan. Maka, biarkan mereka tumbuh, belajar, salah, dan bangkit kembali. Biarkan mereka menjadi kuat dengan caranya sendiri, bukan dengan dipaksa dewasa sebelum waktunya lewat pernikahan anak.
Sebagai bangsa, kita tidak bisa terus membiarkan tradisi menelan masa depan generasi muda. Sudah waktunya peran orangtua tidak hanya menjadi penjaga, tetapi juga pejuang pemberdayaan.
Karena anak perempuan yang diberdayakan hari ini adalah pemimpin tangguh di masa depan. Dan semua itu, dimulai dari rumah.
Baca Juga: Hari Kartini sebagai Simbol Harapan untuk Anak-Anak Perempuan Kini dan Nanti
(*)