Tujuan Terkait
Tujuan Lestari terkait

Pernikahan Anak di Lombok, Orang Tua Harusnya Jadi Pendorong Pemberdayaan Anak Perempuan

Arintha Widya - Senin, 26 Mei 2025
Menyoal peran orang tua dalam pernikahan anak di Lombok yang viral.
Menyoal peran orang tua dalam pernikahan anak di Lombok yang viral. iStockphoto

Parapuan.co - Kasus pernikahan anak di bawah umur yang terjadi di Lombok Tengah baru-baru ini viral di media sosial dan menyisakan keprihatinan mendalam. Seorang siswi SMP berusia 15 tahun menikah dengan pemuda berusia 17 tahun yang sudah putus sekolah.

Melansir Kompas.com, pernikahan itu terjadi secara adat, tanpa pencatatan resmi negara, dan bahkan dilakukan dua kali, setelah sempat dicegah oleh aparat desa dan dipisahkan, pasangan tersebut kembali nekat menikah lewat tradisi memariq atau kawin lari.

Lebih menyedihkan, justru orang tua dari pihak perempuanlah yang memilih tidak menjemput kembali anak mereka setelah dibawa lari, dan membiarkan pernikahan itu terjadi. Hal ini mencerminkan sebuah persoalan mendasar, yakni lemahnya kesadaran orangtua dalam melihat masa depan anak perempuan sebagai sesuatu yang berharga dan layak diperjuangkan.

Dalam laporan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, disebutkan bahwa peran orang tua menjadi titik kunci dalam terjadinya perkawinan anak ini. "Yang kita soroti adalah orang tua," tegas Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi.

Sayangnya, alih-alih memperjuangkan pendidikan dan masa depan putrinya, orangtua justru menyerahkan anaknya kepada pernikahan yang secara hukum dilarang dan penuh risiko sosial.

Padahal, dalam konteks dunia yang terus berubah, sudah saatnya orangtua tidak lagi memandang anak perempuan sebagai "beban" yang harus segera "dilimpahkan" ke keluarga lain lewat pernikahan. Perempuan adalah individu yang memiliki potensi kepemimpinan, kecerdasan emosional, dan daya juang, bila diberi ruang dan dukungan sejak dini.

Mengasuh Anak Perempuan Bukan Sekadar Mengawasi, Tapi Memberdayakan

Mempunyai anak perempuan tak cukup sekadar mengasuh, tetapi juga memberdayakan. Mengutip Women Thrive Magazine, cara kita membesarkan anak perempuan hari ini akan membentuk karakter dan kepemimpinan mereka di masa depan. Orang tua, terutama ibu, punya peran vital dalam menanamkan rasa harga diri dan keberanian pada anak sejak dini.

Ketika orang tua hadir sebagai pendukung, bukan pengendali; sebagai pendengar, bukan penghakim; maka anak perempuan belajar untuk menghargai dirinya, mengenali potensinya, dan menyuarakan pikirannya dengan berani. Mereka tidak akan mudah menyerah pada tekanan sosial, tidak tergoda pada ilusi cinta usia remaja, dan tidak melihat pernikahan sebagai satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup.

Baca Juga: Masa Depan Anak Perempuan Terancam: Mengapa Child Grooming Tidak Boleh Diromantisasikan?

Tradisi Tak Boleh Jadi Alasan Menyerah pada Ketidakadilan

Apa yang terjadi di Lombok memperlihatkan bagaimana tradisi bisa menjadi topeng pembenaran. Dalam banyak kasus memariq, kawin lari tidak selalu atas dasar paksaan, tetapi sangat mungkin lahir dari relasi yang belum matang secara emosi dan mental.

Di sinilah pentingnya pendampingan orang tua, bukan hanya mencegah secara formal, tetapi juga mendidik anak untuk memahami konsekuensi jangka panjang dari pilihan hidup mereka. 

Ketika orang tua memperlakukan anak perempuan sebagai individu yang layak dihormati dan didengarkan, maka akan tumbuh generasi perempuan yang tidak mudah dibungkam, bahkan oleh adat dan budaya yang membatasi.

Mengukir Warisan Lewat Dukungan, Bukan Penyerahan

Kita tidak membutuhkan orang tua yang sempurna. Kita membutuhkan orang tua yang hadir, yang memilih kejujuran daripada performa, pertumbuhan daripada kontrol, dan cinta yang membebaskan daripada cinta yang membatasi.

Setiap keputusan orang tua hari ini adalah warisan yang akan membentuk perempuan-perempuan masa depan. Maka, biarkan mereka tumbuh, belajar, salah, dan bangkit kembali. Biarkan mereka menjadi kuat dengan caranya sendiri, bukan dengan dipaksa dewasa sebelum waktunya lewat pernikahan anak.

Sebagai bangsa, kita tidak bisa terus membiarkan tradisi menelan masa depan generasi muda. Sudah waktunya peran orangtua tidak hanya menjadi penjaga, tetapi juga pejuang pemberdayaan.

Karena anak perempuan yang diberdayakan hari ini adalah pemimpin tangguh di masa depan. Dan semua itu, dimulai dari rumah.

Baca Juga: Hari Kartini sebagai Simbol Harapan untuk Anak-Anak Perempuan Kini dan Nanti

(*)

Sumber: Berbagai sumber
Penulis:
Editor: Arintha Widya

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.