Parapuan.co - Kawan Puan, barangkali sebagian besar dari kita sudah merasakan bahwa musim hujan dan kemarau di Indonesia mulai tumpang tindih. Jika dulu musim hujan dan kemarau bisa diperkirakan antara bulan Oktober-Maret (penghujan) dan April-Septemper (kemarau), kini tidak demikian.
Bahkan hingga Mei yang mestinya sudah masuk musim kemarau, tahun 2025 ini rasanya penghujan masih melanda. Akhirnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan bahwa sejumlah wilayah di Indonesia saat ini sedang mengalami fenomena kemarau basah. Kondisi ini mengakibatkan hujan masih terjadi meskipun sudah memasuki musim kemarau.
Menurut proyeksi BMKG, fenomena kemarau basah diperkirakan akan berlangsung hingga akhir musim kemarau pada Agustus 2025. Setelah itu, Indonesia akan memasuki masa peralihan atau pancaroba pada September hingga November 2025, sebelum akhirnya memasuki musim hujan yang diprediksi datang pada Desember 2025 hingga Februari 2026.
Lantas, apa itu kemarau basah dan perluka kita khawatir? Simak penjelasan dari BMKG sebagaimana mengutip Kompas.com di bawah ini, yuk!
Apa Itu Kemarau Basah?
Kemarau basah adalah situasi di mana curah hujan tetap tinggi meski berada dalam periode musim kemarau. Fenomena ini dianggap tidak biasa dan berhubungan dengan ketidakstabilan pola cuaca yang dipengaruhi oleh dinamika atmosfer dan perubahan iklim.
"Kemarau basah adalah fenomena tidak biasa yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perubahan iklim dan pola cuaca yang tidak stabil," ujar Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto.
Faktor-Faktor Penyebab Kemarau Basah
BMKG mengidentifikasi beberapa faktor atmosfer yang memicu kemarau basah. Diantaranya adalah sirkulasi siklonik di wilayah Indonesia, aktivitas Madden-Julian Oscillation (MJO), serta gelombang atmosfer tropis seperti gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut mendorong terbentuknya awan hujan meskipun musim kemarau sedang berlangsung.
Baca Juga: Tips Berteduh yang Aman Saat Cuaca Ekstrem bagi Pengendara Motor
Guswanto menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan hasil interaksi antara dinamika atmosfer musiman dan perubahan iklim jangka panjang. "Secara musiman, kemarau basah dipicu oleh aktifnya gelombang atmosfer tropis seperti MJO, gelombang Kelvin, dan Rossby Ekuator," ungkapnya kepada Kompas.TV, Jumat (16/5/2025).
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa MJO membawa kelembapan tinggi dan menyebabkan peningkatan hujan di tengah musim kemarau. "MJO, misalnya, adalah gelombang atmosfer tropis yang bergerak secara periodik dan membawa kelembapan tinggi ke wilayah Indonesia, sehingga mengakibatkan hujan yang tidak biasa pada periode kemarau. Kondisi ini mengganggu pola cuaca normal, menyebabkan curah hujan meningkat secara signifikan walaupun musim kemarau sedang berlangsung," jelas Guswanto.
Peran Pemanasan Global
BMKG juga menekankan pengaruh pemanasan global dalam memperburuk fenomena kemarau basah. Kenaikan suhu muka laut di kawasan tropis Indonesia meningkatkan penguapan dan kelembapan udara.
"Kondisi ini menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pembentukan awan dan hujan, bahkan di masa kemarau. Dampak dari pemanasan suhu muka laut ini membuat fenomena seperti MJO menjadi lebih intens dan durasinya lebih lama, sehingga frekuensi kemarau basah meningkat dari waktu ke waktu," tambah Guswanto.
Dampak Kemarau Basah
Wilayah-wilayah dengan pola hujan monsunal seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara menjadi yang paling terdampak oleh fenomena ini. Biasanya, kawasan-kawasan ini mengalami musim kemarau yang kering. Namun tahun ini, curah hujan tetap tinggi karena tingginya kelembapan dan aktivitas atmosfer yang tidak stabil.
Guswanto juga mengingatkan bahwa kemarau basah dapat berdampak signifikan terhadap berbagai sektor, terutama pertanian, lingkungan, dan aktivitas masyarakat sehari-hari. Petani bisa mengalami gangguan dalam pola tanam akibat ketidakpastian cuaca. Di sisi lain, curah hujan tinggi di musim kemarau dapat meningkatkan risiko banjir lokal dan tanah longsor, khususnya di daerah yang rentan.
BMKG mencatat bahwa kemarau basah bukanlah hal baru. Fenomena ini sudah beberapa kali terjadi dalam dekade terakhir, yaitu pada tahun 2010, 2013, 2016, 2020, 2023, dan kembali terulang di 2025. Hal ini menunjukkan tren peningkatan baik dari sisi frekuensi maupun durasi.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim Kian Ekstrem, Ini Langkah-Langkah untuk Menyelamatkan Bumi
"Oleh karena itu, kemarau basah tidak hanya merupakan fenomena musiman biasa, melainkan juga dipengaruhi oleh tren perubahan iklim jangka panjang yang membuat pola cuaca menjadi lebih tidak menentu dan berdampak luas terhadap berbagai sektor, khususnya pertanian dan ketahanan pangan nasional," ujar Guswanto.
Imbauan BMKG untuk Masyarakat
Menghadapi fenomena ini, BMKG memberikan sejumlah imbauan kepada masyarakat agar lebih waspada dan siap menghadapi kondisi cuaca ekstrem:
1. Gunakan pelindung diri seperti topi dan tabir surya saat beraktivitas di luar.
2. Pastikan tubuh tetap terhidrasi, terutama di bawah sinar matahari.
3. Waspadai hujan deras yang bisa disertai petir dan angin kencang.
4. Hindari area terbuka saat terjadi petir dan jauhi objek yang berisiko roboh.
5. Siaga terhadap potensi banjir dan longsor.
Ikuti perkembangan informasi cuaca melalui situs www.bmkg.go.id, akun media sosial @infobmkg, atau aplikasi InfoBMKG.
Tetap tenang dan pahami jalur evakuasi jika terjadi kondisi darurat akibat cuaca ekstrem.
Dengan memahami dan mengantisipasi dampak dari kemarau basah, masyarakat diharapkan dapat meminimalisasi risiko dan tetap menjalankan aktivitas dengan aman.
Baca Juga: Penyebab Nyamuk Tetap Ada di Musim Kemarau, Simak 5 Cara Mengatasinya
(*)