Guswanto menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan hasil interaksi antara dinamika atmosfer musiman dan perubahan iklim jangka panjang. "Secara musiman, kemarau basah dipicu oleh aktifnya gelombang atmosfer tropis seperti MJO, gelombang Kelvin, dan Rossby Ekuator," ungkapnya kepada Kompas.TV, Jumat (16/5/2025).
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa MJO membawa kelembapan tinggi dan menyebabkan peningkatan hujan di tengah musim kemarau. "MJO, misalnya, adalah gelombang atmosfer tropis yang bergerak secara periodik dan membawa kelembapan tinggi ke wilayah Indonesia, sehingga mengakibatkan hujan yang tidak biasa pada periode kemarau. Kondisi ini mengganggu pola cuaca normal, menyebabkan curah hujan meningkat secara signifikan walaupun musim kemarau sedang berlangsung," jelas Guswanto.
Peran Pemanasan Global
BMKG juga menekankan pengaruh pemanasan global dalam memperburuk fenomena kemarau basah. Kenaikan suhu muka laut di kawasan tropis Indonesia meningkatkan penguapan dan kelembapan udara.
"Kondisi ini menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pembentukan awan dan hujan, bahkan di masa kemarau. Dampak dari pemanasan suhu muka laut ini membuat fenomena seperti MJO menjadi lebih intens dan durasinya lebih lama, sehingga frekuensi kemarau basah meningkat dari waktu ke waktu," tambah Guswanto.
Dampak Kemarau Basah
Wilayah-wilayah dengan pola hujan monsunal seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara menjadi yang paling terdampak oleh fenomena ini. Biasanya, kawasan-kawasan ini mengalami musim kemarau yang kering. Namun tahun ini, curah hujan tetap tinggi karena tingginya kelembapan dan aktivitas atmosfer yang tidak stabil.
Guswanto juga mengingatkan bahwa kemarau basah dapat berdampak signifikan terhadap berbagai sektor, terutama pertanian, lingkungan, dan aktivitas masyarakat sehari-hari. Petani bisa mengalami gangguan dalam pola tanam akibat ketidakpastian cuaca. Di sisi lain, curah hujan tinggi di musim kemarau dapat meningkatkan risiko banjir lokal dan tanah longsor, khususnya di daerah yang rentan.
BMKG mencatat bahwa kemarau basah bukanlah hal baru. Fenomena ini sudah beberapa kali terjadi dalam dekade terakhir, yaitu pada tahun 2010, 2013, 2016, 2020, 2023, dan kembali terulang di 2025. Hal ini menunjukkan tren peningkatan baik dari sisi frekuensi maupun durasi.