Ramai Grup FB 'Fantasi Sedarah', PR Baru Tangani Komunitas Melenceng di Media Sosial

Arintha Widya - Jumat, 16 Mei 2025
Komunitas melenceng di FB, grup Fantasi Sedarah yang penuh pedofil.
Komunitas melenceng di FB, grup Fantasi Sedarah yang penuh pedofil. iStockphoto

Parapuan.co - Jagat media sosial baru-baru ini dihebohkan dengan munculnya sebuah grup Facebook bernama Fantasi Sedarah. Grup ini menjadi sorotan setelah netizen mengungkap konten-konten menyimpang yang di-posting para anggotanya, mulai dari fantasi seksual terhadap anggota keluarga sendiri hingga pengakuan melakukan tindakan inses, bahkan terhadap anak balita.

Tidak sedikit pula yang tidak ragu membagikan foto istri atau anak perempuan mereka sebagai “bahan fantasi” bagi anggota grup lain, seolah tidak ada lagi batas antara realitas, kesusilaan, dan kejahatan.

Pengguna X @dxrkchocolx membagikan temuannya, yang menurut PARAPUAN sebaiknya tidak Kawan Puan baca. Kalaupun ingin membaca, persiapkan diri dulu untuk menahan kemarahan dan tarik nafas dalam-dalam.

Tangkapan layar penggalan unggahan melenceng di FB 'Fantasi Sedarah'.
Tangkapan layar penggalan unggahan melenceng di FB 'Fantasi Sedarah'. Akun X @dxrkchocolx

Kemunculan grup semacam ini bukan hanya menampar nurani publik, tapi juga memperlihatkan betapa lemahnya pengawasan terhadap komunitas-komunitas gelap yang hidup subur di media sosial. Dalam konteks ini, Facebook sebagai platform terkait mendapat sorotan keras.

Namun, lebih dari itu, masyarakat juga dihadapkan pada tantangan besar dalam menghadapi dan mencegah berkembangnya komunitas-komunitas penyimpang yang terus mencari celah untuk eksis dan berinteraksi.

Komunitas Menyimpang dan Ekosistem Media Sosial

Secara struktural, media sosial memang memungkinkan terbentuknya kelompok berdasarkan minat bersama, baik positif maupun negatif. Sebagaimana dijelaskan dalam studi berbasis data dari platform Tumblr seperti melansir CNR, media sosial adalah ekosistem yang kondusif bagi terbentuknya komunitas bertema khusus, termasuk yang mengangkat topik tabu atau menyimpang dari norma umum.

Ini mencakup perilaku konsumsi konten dewasa, penyalahgunaan zat, gangguan makan, hingga tindakan yang merugikan diri sendiri. Banyak dari komunitas ini memang terkesan eksklusif atau terisolasi, namun pada kenyataannya, mereka terhubung dengan komunitas-komunitas lain dan dapat menyebarkan konten menyimpang secara luas.

Baca Juga: Mengupas Regulasi Batas Usia Penggunaan Media Sosial Untuk Anak

Dalam studi tersebut ditemukan bahwa meski komunitas produsen konten dewasa eksplisit hanya mencakup 0,05% dari pengguna Tumblr, konten mereka bisa menjangkau hingga 50% pengguna lainnya karena mekanisme reblogging dan interaksi antar komunitas.

Bahkan anak-anak dan remaja pun dapat tanpa sengaja terekspos oleh konten tersebut karena mengikuti pengguna lain yang membagikannya. Hal ini membuktikan bahwa kelompok-kelompok melenceng bukan sekadar "sudut gelap" dari media sosial.

Mereka adalah bagian dari jaringan luas yang turut mengisi arus utama peredaran informasi. Mereka bisa hadir diam-diam, tapi berdampak nyata—membentuk opini, memengaruhi persepsi, bahkan merusak nilai dan norma dalam masyarakat digital kita.

PR Besar Bagi Pemerintah dan Platform Media Sosial

Kehadiran grup seperti Fantasi Sedarah seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah, penegak hukum, serta pengelola media sosial. Upaya deteksi dan penindakan terhadap komunitas penyimpang tidak bisa lagi sekadar reaktif berdasarkan laporan pengguna, melainkan harus lebih proaktif dan terstruktur.

Studi Tumblr itu juga mengungkap bahwa untuk mengendalikan penyebaran konten dewasa kepada anak di bawah umur, cukup membatasi aktivitas sekitar 200 akun utama yang memproduksi konten tersebut. Strategi semacam ini seharusnya bisa diadopsi untuk mengidentifikasi "sarang" penyimpangan di platform lain.

Namun, akar masalahnya lebih dalam dari sekadar algoritma atau celah moderasi konten. Ketika seseorang dengan sadar membagikan foto anak atau istrinya untuk dijadikan objek fantasi seksual, itu bukan sekadar pelanggaran etika—itu adalah bentuk kekerasan, pengkhianatan terhadap peran sebagai orang tua dan pasangan.

Norma, adab, dan nurani seolah benar-benar telah runtuh. Bahkan binatang pun tahu caranya melindungi anak-anak mereka. Lantas, apa yang bisa kita harapkan dari masa depan jika hari ini kita gagal menjaga mereka?

Refleksi Sosial dan Keberanian Bertindak

Baca Juga: Dampak Buruk Terlalu Banyak Terpapar Media Sosial dan Dunia Digital

Kasus ini menunjukkan bahwa ruang publik digital kita tengah diracuni oleh keberanian sebagian orang untuk menormalisasi penyimpangan.

Kita tidak hanya butuh regulasi yang lebih tegas dan teknologi moderasi yang lebih canggih, tapi juga kesadaran kolektif untuk menolak, melaporkan, dan menekan keberadaan komunitas-komunitas seperti ini.

Sudah saatnya kita berhenti bersikap permisif atas dalih "kebebasan berekspresi" bila ekspresi itu menginjak-injak kemanusiaan.

Kita juga harus berani mendorong hukuman yang setimpal bagi pelaku yang terbukti melibatkan anak-anak dalam penyimpangan seksual, baik secara langsung maupun lewat konten digital.

Penjara mungkin tidak cukup. Dalam beberapa kasus ekstrem, hukuman mati layak dipertimbangkan sebagai peringatan bahwa tidak semua bisa ditoleransi. Bahkan binatang tidak demikian kepada anak-anak mereka.

Norma, adab, dan nurani seolah sudah tidak ada lagi. Lantas, apa yang bisa kita berikan sebagai bekal kepada anak-anak di masa depan jika masa kininya tidak bisa kita lindungi?

Komunitas seperti Fantasi Sedarah bukan sekadar masalah Facebook. Ia adalah potret dari PR baru yang lebih besar, yakni bagaimana kita menyelamatkan nilai kemanusiaan di tengah kebebasan tanpa batas dalam dunia maya.

Sebab jika tidak, mungkin esok anak-anak kita yang akan jadi korban berikutnya.

Baca Juga: Fenomena Remaja Mudah Terpengaruh Konten Media Sosial, Kenapa?

(*)

Sumber: Berbagai sumber
Penulis:
Editor: Arintha Widya