Baca Juga: Dampak Buruk Terlalu Banyak Terpapar Media Sosial dan Dunia Digital
Kasus ini menunjukkan bahwa ruang publik digital kita tengah diracuni oleh keberanian sebagian orang untuk menormalisasi penyimpangan.
Kita tidak hanya butuh regulasi yang lebih tegas dan teknologi moderasi yang lebih canggih, tapi juga kesadaran kolektif untuk menolak, melaporkan, dan menekan keberadaan komunitas-komunitas seperti ini.
Sudah saatnya kita berhenti bersikap permisif atas dalih "kebebasan berekspresi" bila ekspresi itu menginjak-injak kemanusiaan.
Kita juga harus berani mendorong hukuman yang setimpal bagi pelaku yang terbukti melibatkan anak-anak dalam penyimpangan seksual, baik secara langsung maupun lewat konten digital.
Penjara mungkin tidak cukup. Dalam beberapa kasus ekstrem, hukuman mati layak dipertimbangkan sebagai peringatan bahwa tidak semua bisa ditoleransi. Bahkan binatang tidak demikian kepada anak-anak mereka.
Norma, adab, dan nurani seolah sudah tidak ada lagi. Lantas, apa yang bisa kita berikan sebagai bekal kepada anak-anak di masa depan jika masa kininya tidak bisa kita lindungi?
Komunitas seperti Fantasi Sedarah bukan sekadar masalah Facebook. Ia adalah potret dari PR baru yang lebih besar, yakni bagaimana kita menyelamatkan nilai kemanusiaan di tengah kebebasan tanpa batas dalam dunia maya.
Sebab jika tidak, mungkin esok anak-anak kita yang akan jadi korban berikutnya.
Baca Juga: Fenomena Remaja Mudah Terpengaruh Konten Media Sosial, Kenapa?
(*)