Hindari Komentar Meremehkan Ini ke Orang Tua Baru, Ikuti Saran Ahli

Arintha Widya - Kamis, 15 Mei 2025
Mengapa harus menghindari komentar menyepelekan saat bertemu calon ibu atau ibu baru?
Mengapa harus menghindari komentar menyepelekan saat bertemu calon ibu atau ibu baru? Antonio_Diaz

Parapuan.co - Ketika seorang calon ibu atau ibu baru membagikan kabar kehamilan atau persalinannya, ucapan selamat sering kali datang bersamaan dengan sesuatu yang jauh lebih mengganggu, yaitu komentar bernada meremehkan yang dibalut pengalaman pribadi. Contohnya, "Nikmati saja sekarang, tunggu sampai anaknya mulai jalan" atau "Kehamilan pertama memang mudah, tunggu sampai punya anak kedua".

Padahal, komentar seperti itu tak hanya mengurangi semangat, tapi juga bisa berdampak pada kesehatan mental calon orang tua atau orang tua baru. Kawan Puan pernah mendapatkan komentar tersebut atau memberikan komentar serupa ke calon orang tua?

Hindari, ya. Ketahui dampak dari komentar meremehkan dan ikuti saran dari ahli untuk alternatif yang lebih baik, yang memberikan semangat dan dukungan kepada calon orang tua. Simak informasinya seperti melansir Parents di bawah ini!

Komentar Bernada Peringatan, Mengapa Harus Negatif?

Vanessa Grimaldi, bintang reality show The Bachelor yang tengah menantikan anak pertamanya, baru-baru ini membagikan keresahannya melalui Instagram. Ia menulis mewakili para calon ibu, "Hentikan mencoba membuat orang berkecil hati. Hentikan membandingkan pengalaman. Kenapa harus selalu negatif?"

Senada dengan Grimaldi, aktris dan ibu baru Becca Tobin juga mencurahkan isi hatinya dalam podcast The LadyGang. Ia berkata, "Aku tidak tahan dengan orang tua yang seolah-olah meramalkan kiamat. Mereka bilang, ‘Tunggu sampai anakmu mulai merangkak! Sekarang ini masih gampang.’ Aku cuma bisa mikir, kenapa kita harus begini satu sama lain? Biarkan kami menjalaninya sesuai waktu kami."

Komentar seperti ini tidak hanya menjengkelkan, tetapi juga bisa terasa merendahkan dan mengintimidasi. Alih-alih membantu, komentar tersebut malah menimbulkan kecemasan, terutama bagi mereka yang sudah berjuang dengan tekanan emosional saat hamil atau di masa nifas.

Risiko Kesehatan Mental di Balik Komentar 'Tunggu Saja Nanti'

Menurut psikolog klinis dan pendiri The Mindful Mommy, Dr. Emily Guarnotta, banyak orang mengalami kesulitan saat hamil maupun setelah melahirkan, namun enggan mengakuinya. Komentar seperti “just wait” justru membuat orang semakin menutup diri.

Baca Juga: Peran AIMI dalam Mendorong dan Mendukung Ibu Menyusui di Indonesia

"Ketika seseorang berkata seperti itu, mereka malah membuat orang lain merasa tidak bisa jujur tentang perasaannya. Ini memperburuk gejala depresi atau kecemasan yang sudah ada. Orang merasa semakin sendirian," ujar Dr. Emily Guarnotta.

Ia juga menekankan bahwa komentar tersebut sering kali datang dari orang tua dengan anak yang sudah besar. "Ada jarak waktu yang membuat mereka melihat masa lalu melalui kacamata nostalgia. Mereka lupa betapa beratnya saat itu dan hanya mengingat bagian menyenangkannya," jelasnya.

Dr. Guarnotta pun pernah merasakan langsung dampaknya. "Saat anakku sedang tumbuh gigi dan aku membagikan curahan hati di media sosial, ada yang berkomentar, 'Ingat ya, semuanya sepadan.' Meskipun niatnya baik, rasanya seperti ditolak. Aku ingin diakui bahwa ini memang sulit."

Apa yang Bisa Dilakukan?

Alih-alih menambahkan beban emosional lewat komentar negatif atau nasihat yang tak diminta, ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan saat berinteraksi dengan orang tua baru atau calon orang tua:

1. Validasi pengalaman, bukan membandingkan

Ketika seseorang sedang melalui masa sulit, dengarkan dan beri ruang untuk mereka bercerita. Dr. Guarnotta menyarankan pendekatan seperti, "Bayinya kelihatan sehat dan lucu, tapi aku juga ingin tahu bagaimana kabarmu. Aku tahu masa-masa ini bisa indah tapi juga menantang."

2. Hindari nasihat yang tak diminta

Meskipun kita merasa punya pengalaman serupa, belum tentu orang lain membutuhkannya. "Mendengarkan saja sudah sangat membantu. Normalisasi, akui, validasi—itu jauh lebih berarti daripada memberi solusi," kata Dr. Guarnotta.

Baca Juga: Cara Mendukung Perempuan Korban Kekerasan agar Berani Speak Up

Jika ingin berbagi pengalaman, sebaiknya ucapkan dengan nada terbuka, seperti, "Ini yang dulu membantuku, tapi aku tahu pengalaman setiap orang berbeda, jadi kamu yang tahu apa yang terbaik untuk dirimu."

3. Jangan proyeksikan pengalaman pribadi

Tidak semua fase menjadi orang tua terasa sulit bagi setiap orang. "Ada masa ketika anakku baru dua minggu dan aku kelelahan, lalu seseorang bilang, 'Tunggu sampai dia bisa jalan, kamu nggak akan bisa istirahat sama sekali'. Waktu itu rasanya aku tak sanggup membayangkan hidup yang lebih berat dari sekarang," kenang Dr. Guarnotta.

Tapi ia menyadari bahwa fase berjalan ternyata tidak seberat yang ia kira. "Setiap orang berbeda. Bagian sulit itu berbeda bagi tiap orang," ungkapnya lagi.

4. Bantu putuskan siklus negatif

Baik komentar pesimistis maupun semangat palsu seperti, "Nikmati saja setiap detiknya" bisa membuat orang merasa bersalah atas emosi mereka sendiri. "Bagi mereka yang sudah berjuang, kedua hal ini sama-sama membuat mereka diam dan tidak mencari bantuan. Ini bisa memperburuk kecemasan atau depresi," jelas Dr. Guarnotta.

Kita Butuh Lebih Banyak Empati

Kita tidak bisa mengontrol komentar orang lain, tapi kita bisa mengatur bagaimana kita bereaksi. "Ingatlah bahwa komentar seperti itu sering kali tidak bermaksud menyakiti. Tapi sangat wajar untuk menegaskan batasan jika komentar tersebut tidak membuatmu nyaman," ujar Dr. Guarnotta.

"Tiap orang bisa memilih apakah ingin mengabaikannya, atau menyampaikan secara langsung bahwa komentar itu tidak membantu. Keduanya sah-sah saja," tuturnya lagi.

Menjadi orang tua adalah perjalanan yang penuh warna. Yang kita butuhkan bukanlah ramalan akan hal-hal buruk yang mungkin terjadi, melainkan ruang aman untuk berkata jujur bahwa, ya, ini sulit, dan itu tidak apa-apa.

Baca Juga: Mengapa Ibu Baru Sering Alami Insomnia Pascapersalinan? Ini Alasannya

(*)

Sumber: Parents
Penulis:
Editor: Arintha Widya