Parapuan.co - Di tengah gempuran pembangunan infrastruktur dan ancaman terhadap kelestarian hutan Indonesia, suara perempuan muda seperti Rahayu Oktaviani menjadi harapan baru dalam upaya pelestarian primata. Sebagai seorang primatolog, Ayu—begitu ia akrab disapa—berperan penting dalam riset dan konservasi primata, khususnya Owa Jawa, salah satu primata endemik Indonesia yang kini terancam punah.
PARAPUAN belum lama ini berkesempatan melakukan wawancara langsung dengan Rahayu Oktaviani. Prestasinya sebagai primatolog yang baru saja menerima penghargaan internasional Whitley Awards 2025 tentu dapat menginspirasi perempuan Indonesia.
Dalam wawancara tersebut, Ayu mengungkapkan tentang peran penting seorang primatolog dalam pelestarian primata atau dalam hal ini Owa Jawa. Ia juga berbagi tips untuk perempuan yang tertarik dengan dunia satwa dan ingin menjadi primatolog. Yuk, simak!
Apa Itu Primatolog dan Apa Perannya?
Primatolog adalah peneliti yang fokus pada studi tentang primata—kelompok mamalia yang mencakup monyet, kera, dan manusia. Dalam praktiknya, peran seorang primatolog mencakup banyak hal, mulai dari pengamatan perilaku primata di habitat aslinya, hingga merancang strategi konservasi berdasarkan data ilmiah yang mereka kumpulkan.
"Jadi, salah satu tugas kami adalah untuk memberikan data dan informasi terbaru mengenai apa saja sih yang harus kita ketahui dari primata yang menjadi target kita. Sebagai contoh, jika saya fokus kepada Owa Jawa, kemudian salah satu luaran atau goals dari riset kami adalah bagaimana kami bisa menghimpun data dan dan informasi yang cukup detail dan cukup panjang mengenai Owa Jawa," papar Ayu.
"Owa Jawa ini salah satu satwa liar, primata terutama, yang lifespan-nya rentang hidupnya cukup lama, sehingga butuh penelitian jangka panjang dan continuous terus-menerus untuk melakukan penelitian mengenai perilaku dari ekologi. Untuk itu kami di KIARA, kami melakukan kegiatan monitoring jangka panjang untuk Owa Jawa liar, khususnya di Taman Nasional Gunung Halimun Salak," imbuhnya.
Ayu menjelaskan bahwa riset yang ia dan timnya lakukan di KIARA (Konservasi Ekosistem Alam Nusantara) bersifat jangka panjang. Penelitian mereka terhadap Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, misalnya, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memahami ekologi dan perilaku primata tersebut secara mendalam. Hal ini penting karena rentang hidup Owa Jawa yang panjang membuat observasi jangka pendek kurang efektif dalam menangkap dinamika hidupnya secara utuh.
Tujuan akhir dari riset tersebut bukan sekadar publikasi ilmiah, melainkan menyediakan dasar ilmiah bagi kebijakan pelestarian dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga primata dan habitatnya.
Baca Juga: Sosok Rahayu Oktaviani yang Raih Penghargaan karena Pelestarian Owa Jawa
Menjadi Primatolog Tak Harus Langsung Ahli
Tak semua orang yang ingin menjadi primatolog harus langsung ahli soal satwa. Menurut Ayu, yang terpenting adalah memiliki rasa penasaran yang tinggi dan keinginan untuk terus belajar. Dorongan awal Ayu terjun ke dunia primatologi muncul dari menonton dokumenter tentang satwa liar. Dari situ, ia mulai mencari tahu sosok-sosok perempuan yang aktif dalam dunia konservasi, seperti Dian Fossey, Jane Goodall, dan Biruté Galdikas.
Selain para zoologist tersebut, sosok lain yang menginspirasi Ayu adalah Dra. Sri Suci Utami Atmoko, Ph.D.,seorang ilmuwan yang ahli dalam konservasi primata dan dosen di Fakultas Biologi dan Pertanian, Universitas Nasional (UNAS). "Beliau ahli orangutan. Cukup banyak sebenarnya peneliti-peneliti perempuan yang menggaungkan suara konservasi," kata Ayu.
Keterampilan yang Dibutuhkan untuk Menjadi Primatolog
Menurut Ayu, selain dalam hal pengetahuan dasar dan keilmuan, ada hal penting yang dibutuhkan untuk menjadi seorang primatolog. Berikut uraiannya:
1. Rasa ingin tahu dan ketekunan belajar: Ini adalah modal utama. Rasa penasaran yang tinggi mendorong seseorang untuk terus mencari, membaca, dan mendalami bidang yang ia minati.
2. Keberanian untuk bertanya: "Jangan takut untuk bertanya. Karena kita biasanya sering ada stereotipe kalau misalkan kita bertanya itu artinya kita nggak tahu, atau kita nggak mendengarkan. Padahal dari rasa pertanyaan itu kita jadi lebih tahu lebih banyak. Jadi jangan pernah takut untuk bertanya," terang Ayu.
3. Mencari mentor: Belajar langsung dari orang-orang yang lebih dulu terjun di bidang ini akan mempercepat pemahaman dan membentuk jejaring profesional. Ayu sendiri mengaku banyak terinspirasi dari perempuan-perempuan konservasionis, baik di dalam maupun luar negeri.
4. Ketekunan di lapangan: Dunia primatologi bukan pekerjaan kantor yang nyaman. Banyak waktu dihabiskan di hutan, dalam kondisi yang tidak selalu mudah. Ketekunan dan kesiapan fisik maupun mental menjadi syarat penting.
Pesan untuk Perempuan Muda Indonesia
Lewat pengalamannya, Ayu ingin menyampaikan kepada para perempuan muda bahwa mereka bisa menjadi apa pun yang mereka impikan, termasuk menjadi primatolog. Dunia konservasi bukan hanya milik laki-laki. Perempuan juga mampu menjadi garda terdepan dalam menyuarakan dan menjaga kelestarian alam.
"Jangan takut untuk mengejar mimpi," pesan Ayu. Dunia membutuhkan lebih banyak perempuan yang berani menyuarakan pentingnya harmoni antara manusia dan alam.
Baca Juga: 17 Tahun Berdedikasi pada Pelestarian Owa Jawa, Ini Tantangan Rahayu Oktaviani
(*)