Parapuan.co - Beberapa waktu belakangan, linimasa TikTok ramai dengan fenomena bernama Italian Brainrot, atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai meme anomali atau hewan anomali. Karakter-karakter absurd dengan nama-nama ganjil seperti Tralalero Tralala, Tung Tung Tung Sahur, Bombardiro Crocodillo, hingga Ballerina Cappucina membanjiri For You Page (FYP) pengguna TikTok.
Nama-nama yang disebutkan tadi adalah makhluk hasil rekayasa kecerdasan buatan (AI), memadukan tubuh hewan, benda mati, dan unsur manusia secara tak lazim alias menyeramkan, lucu, dan aneh secara bersamaan. Fenomena ini tak muncul dari ruang hampa. Ia berakar dari sebuah istilah populer di kalangan Gen Alpha dan Gen Z: brain rot.
Bukan sekadar istilah, brain rot adalah cara anak muda menamai jenis konten yang mereka konsumsi—konten yang "merusak otak" karena saking absurd atau bodohnya, tetapi justru dinikmati karena menghibur dan membebaskan pikiran dari tekanan dunia nyata.
Untuk anak-anak, konten absurd dan media sosial secara keseluruhan memang perlu dibatasi dan mungkin sebaiknya tidak ditonton sama sekali. Namun, di usia remaja, apa yang perlu dikhawatirkan dari menonton konten absurd yang kini menjadi hiburan di ranah digital? Simak dulu informasi yang dikutip dari Psyche di bawah ini, yuk!
Apa Itu Brain Rot?
Secara harfiah, brain rot berarti "pembusukan otak". Namun, bagi remaja di era digital, brain rot merujuk pada jenis hiburan ringan, acak, dan absurd yang memenuhi media sosial mereka—terutama TikTok. Ia bukan penyakit, bukan pula gejala psikologis, tapi sebuah “genre partisipasi” digital, semacam pelarian dari realita.
Dalam sebuah riset yang dilakukan Emilie Owens peneliti University of Oslo Norwegia, remaja menggambarkan brain rot sebagai konten "bodoh dan nggak penting", seperti karakter animasi jelek menari atau meme yang tidak masuk akal. Tapi di balik kebodohannya, ada kenyamanan yang diberikan.
Seorang partisipan dalam penelitian Emilie Owens berkata, "Kadang aku pengen belajar sesuatu dari TikTok, tapi kadang ya cuma mau nonton yang bodoh-bodoh aja. Brain rot."
Evolusi Brain Rot: Dari Meme Bodoh ke Anomali Absurd
Baca Juga: Serial Adolescence: Bahaya Konten Beracun dan Algoritma Internet pada Anak Remaja
Fenomena Italian Brainrot adalah bentuk evolusi dari genre brain rot. Ia lebih dari sekadar konten bodoh. Karakter-karakter seperti Tralalero Tralala—hiu berkaki yang memakai sepatu—atau Tung Tung Tung Sahur—kentungan berjalan dengan wajah manusia—menyentuh titik absurd yang ekstrem.
Konten ini biasanya memiliki narasi yang dibacakan oleh suara AI, sering kali dalam bahasa Italia atau Indonesia, menambah kesan surealis. Narasi-narasi itu bisa membentuk cerita lucu, menakutkan, bahkan seperti teka-teki urban legend. Tidak heran jika video Tung Tung Tung Sahur yang dibuat akun @noxaasht viral hingga ditonton lebih dari 65 juta kali sebagaimana melansir Kompas.com.
Mengapa Anak Muda Menyukai Brain Rot?
Remaja masa kini hidup dalam lingkungan digital yang penuh tekanan, mulai dari berita perang, krisis iklim, ketidakadilan sosial, dan algoritma yang terus membanjiri mereka dengan informasi. Di tengah kekacauan itu, brain rot hadir sebagai "oase" yang memungkinkan mereka untuk berhenti berpikir, setidaknya sejenak.
Sebagian remaja menyebut bahwa konten seperti ini, walau tampak bodoh, memberikan mereka ruang untuk rileks. "TikTok itu buat tiga hal: belajar hal baru, ngintip orang lain, dan brain rot," kata seorang partisipan dalam riset tersebut. Konten brain rot menjadi semacam comfort zone digital—tak perlu dipahami, cukup ditertawakan atau ditatap dalam keheranan.
Apakah Konten Absurd Berbahaya?
Beberapa situs kesehatan menyebut brain rot sebagai gejala bahaya paparan konten digital berlebih—dari penurunan konsentrasi hingga kelelahan mental. Namun, bagi para remaja, brain rot bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Mereka sadar bahwa mereka sedang membuang waktu, tetapi juga tahu kapan harus kembali ke dunia nyata—untuk belajar, beraktivitas, atau sekadar tidur.
Hanya saja, seperti namanya, konten meme anomali tetap perlu dibatasi dan sebaiknya tidak jadi konsumsi anak-anak. Terutama anak-anak balita atau di bawah 12-13 tahun yang belum masih mudah terpengaruh pada tontonan, terlebih yang tidak mengandung tuntunan.
Jika Kawan Puan menyukai konten-konten semacam ini, pastikan putra-putrimu tidak melihatnya, ya. Hindari juga menonton konten sejenis terlalu sering dan berlebihan. Mari lebih bijak menggunakan media sosial!
Baca Juga: Fenomena Remaja Mudah Terpengaruh Konten Media Sosial, Kenapa?
(*)