Brainrot Anomaly, Apa yang Perlu Dikhawatirkan Ketika Konten Absurd Jadi Hiburan Digital?

Arintha Widya - Rabu, 14 Mei 2025
Kolase meme anomali atau brainrot anomaly yang viral di TikTok.
Kolase meme anomali atau brainrot anomaly yang viral di TikTok. KOMPAS.com/Zulfikar Hardiansyah

Fenomena Italian Brainrot adalah bentuk evolusi dari genre brain rot. Ia lebih dari sekadar konten bodoh. Karakter-karakter seperti Tralalero Tralala—hiu berkaki yang memakai sepatu—atau Tung Tung Tung Sahur—kentungan berjalan dengan wajah manusia—menyentuh titik absurd yang ekstrem.

Konten ini biasanya memiliki narasi yang dibacakan oleh suara AI, sering kali dalam bahasa Italia atau Indonesia, menambah kesan surealis. Narasi-narasi itu bisa membentuk cerita lucu, menakutkan, bahkan seperti teka-teki urban legend. Tidak heran jika video Tung Tung Tung Sahur yang dibuat akun @noxaasht viral hingga ditonton lebih dari 65 juta kali sebagaimana melansir Kompas.com.

Mengapa Anak Muda Menyukai Brain Rot?

Remaja masa kini hidup dalam lingkungan digital yang penuh tekanan, mulai dari berita perang, krisis iklim, ketidakadilan sosial, dan algoritma yang terus membanjiri mereka dengan informasi. Di tengah kekacauan itu, brain rot hadir sebagai "oase" yang memungkinkan mereka untuk berhenti berpikir, setidaknya sejenak.

Sebagian remaja menyebut bahwa konten seperti ini, walau tampak bodoh, memberikan mereka ruang untuk rileks. "TikTok itu buat tiga hal: belajar hal baru, ngintip orang lain, dan brain rot," kata seorang partisipan dalam riset tersebut. Konten brain rot menjadi semacam comfort zone digital—tak perlu dipahami, cukup ditertawakan atau ditatap dalam keheranan.

Apakah Konten Absurd Berbahaya?

Beberapa situs kesehatan menyebut brain rot sebagai gejala bahaya paparan konten digital berlebih—dari penurunan konsentrasi hingga kelelahan mental. Namun, bagi para remaja, brain rot bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Mereka sadar bahwa mereka sedang membuang waktu, tetapi juga tahu kapan harus kembali ke dunia nyata—untuk belajar, beraktivitas, atau sekadar tidur.

Hanya saja, seperti namanya, konten meme anomali tetap perlu dibatasi dan sebaiknya tidak jadi konsumsi anak-anak. Terutama anak-anak balita atau di bawah 12-13 tahun yang belum masih mudah terpengaruh pada tontonan, terlebih yang tidak mengandung tuntunan.

Jika Kawan Puan menyukai konten-konten semacam ini, pastikan putra-putrimu tidak melihatnya, ya. Hindari juga menonton konten sejenis terlalu sering dan berlebihan. Mari lebih bijak menggunakan media sosial!

Baca Juga: Fenomena Remaja Mudah Terpengaruh Konten Media Sosial, Kenapa?

(*)

Sumber: Berbagai sumber
Penulis:
Editor: Arintha Widya