Parapuan.co - Pernikahan sering dianggap sebagai bukti pencapaian hidup seorang perempuan. Namun, tidak semua kisah rumah tangga berujung pada keabadian yang diimpikan.
Bagi sebagian perempuan, pernikahan justru menjadi ruang yang sempit, penuh luka, dan kehilangan jati diri. Bercerai bukanlah keputusan ringan, apalagi bagi perempuan yang sejak kecil diajarkan bahwa keharmonisan rumah tangga adalah tanggung jawab utamanya.
Tapi semakin banyak perempuan yang mulai menyadari bahwa kebahagiaan dan kesehatan mental bukan sesuatu yang bisa dikorbankan terus-menerus. Mereka memilih bercerai bukan karena gagal, melainkan karena berani mengambil kendali atas hidupnya sendiri.
Melansir dari Kompas.com, hal ini tercermin dari laporan Pengadilan Agama (PA), yang mencatat ada sekitar 4.087 kasus gugatan cerai lebih banyak diajukan oleh istri atau perempuan di tahun 2024.
Humas PA Surabaya, Akramuddin menegaskan bahwa kasus perceraian yang diajukan oleh istri atau perempuan tidak hanya di Kota Surabaya saja, tetapi juga banyak ditemukan hampir di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2024 sebanyak 399.921 jiwa tercatat resmi bercerai. Meskipun tidak ada keterangan gender mana yang lebih banyak menggugat, tentu angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret kehidupan rumah tangga di Indonesia.
Adapun dalam catatan tersebut yang paling banyak menjadi pemicu perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus, mencapai 251.125 kasus. Ini menunjukkan bahwa konflik yang tak terselesaikan dalam rumah tangga menjadi bom waktu yang pada akhirnya bisa meledak.
Bagi banyak perempuan, bertahan dalam pernikahan yang penuh konflik bukan lagi pilihan. Mereka mulai menyadari bahwa kesehatan mental dan emosi diri sendiri jauh lebih penting daripada mempertahankan status pernikahan semata.
Dalam banyak kasus, perempuan masih dibebani ekspektasi sebagai penjaga keutuhan rumah tangga. Namun realitanya, ketika komunikasi berubah menjadi kompetisi, ketika suara perempuan tak lagi didengar, maka perceraian menjadi bentuk keberanian untuk memilih damai di atas kekerasan verbal yang tak kunjung usai.
Baca Juga: Waspada 7 Red Flag Pernikahan yang Bisa Berujung pada Perceraian
Faktor ekonomi menjadi penyumbang terbesar kedua dalam kasus perceraian, dengan 100.198 kasus tercatat. Namun, ini bukan semata soal kekurangan penghasilan, melainkan juga tentang ketimpangan peran dan kurangnya transparansi finansial dalam rumah tangga.
Dalam banyak kasus, persoalan ekonomi menjadi pemicu ketegangan emosional yang lebih dalam, terutama ketika komunikasi dan rasa tanggung jawab antar pasangan tidak berjalan seimbang.
Kini, baik perempuan maupun laki-laki semakin menyadari pentingnya kemandirian dan kestabilan emosional dalam membangun hubungan yang sehat. Banyak individu yang memilih berpisah bukan karena menyerah, tetapi karena menyadari bahwa hidup bersama tanpa rasa aman, baik secara finansial maupun emosional dapat berdampak buruk bagi semua pihak, termasuk anak.
Generasi masa kini tumbuh dengan akses pendidikan dan peluang karier yang lebih luas. Karena itu, perceraian kini tak selalu dianggap sebagai akhir, melainkan bisa menjadi awal dari kehidupan yang lebih seimbang, sehat, dan saling menghargai baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Di sisi lain, sebanyak 31.265 perceraian terjadi karena ditinggalkan oleh salah satu pihak. Hal ini merugikan berbagai pihak, bukan hanya soal fisik, tapi juga psikis.
Ditinggalkan bisa berarti pasangan tidak hadir secara emosional, tidak terlibat dalam pengasuhan, atau bahkan melarikan diri dari tanggung jawab rumah tangga. Perempuan yang ditinggalkan sering kali harus mengambil dua peran sekaligus, menjadi ibu dan ayah, pencari nafkah sekaligus pengasuh.
Faktor terakhir adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dengan 7.243 kasus. Meskipun angka ini tampak lebih kecil, namun penting untuk digarisbawahi bahwa kasus KDRT sangat mungkin underreported.
Rasa takut, tekanan sosial, dan kurangnya perlindungan sering membuat perempuan memilih diam. Namun, angka ini tetap menunjukkan adanya pergeseran dari tahun ke tahun, semakin banyak perempuan berani melaporkan, dan keluar dari relasi yang membahayakan.
Baca Juga: 5 Fase yang Dialami Perempuan Ketika Menghadapi Perceraian Rumah Tangga
Dalam konteks KDRT, perceraian justru menjadi bentuk perlindungan diri. Banyak perempuan yang akhirnya memilih melapor, menggugat, dan keluar dari siklus kekerasan demi masa depan dirinya dan anak-anaknya.
Data BPS ini seharusnya menjadi bahan refleksi, bukan hanya tentang rumah tangga yang gagal, tapi tentang sistem sosial yang masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus menanggung beban relasi.
Bertambahnya jumlah perceraian juga menunjukkan peningkatan kesadaran perempuan atas hak-haknya. Ini bukan sekadar tren buruk, melainkan cerminan dari tumbuhnya keberanian perempuan Indonesia untuk tidak lagi hidup dalam relasi yang timpang.
Pemerintah melalui Kementerian Agama telah menginisiasi program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) untuk calon pengantin, guna mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan pernikahan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesiapan emosional, spiritual, dan finansial pasangan sebelum menikah.
Selain itu, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mendukung perempuan yang mengalami perceraian. Membangun lingkungan yang inklusif dan bebas stigma akan membantu mereka menjalani kehidupan pasca perceraian dengan lebih baik.
Penting juga untuk memikirkan kebijakan dan program dukungan pasca-cerai, terutama bagi perempuan dengan anak. Dukungan hukum, finansial, psikologis, hingga peluang kerja harus diperkuat. Karena perceraian bukan hanya proses hukum, tapi juga proses pemulihan diri.
Baca Juga: Cara Perempuan Mandiri Bangun Kembali Kesehatan Mental dan Emosional Setelah Perceraian
(*)
Celine Night