Parapuan.co - Partisipasi perempuan dalam dunia politik semakin mendapatkan pengakuan.
Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak perempuan yang mengisi posisi kepemimpinan di jabatan-jabatan fungsional dalam pemerintahan.
Kendati demikian, ironisnya perempuan dalam politik justru rentan mendapatkan kekerasan.
Temuan terbaru theconversation.com, mengungkapkan bahwa politisi perempuan jauh lebih rentan menjadi sasaran kekerasan dibandingkan rekan-rekan laki-laki mereka.
Studi yang dilakukan di Italia ini menunjukkan bahwa wali kota perempuan tiga kali lebih mungkin mengalami kekerasan politik daripada wali kota laki-laki, meskipun keduanya memiliki latar belakang yang serupa.
Penelitian tersebut melihat perbandingan antara kota-kota di mana wali kota perempuan menang dengan selisih tipis dan kota-kota yang dipimpin oleh wali kota laki-laki dengan selisih tipis yang serupa.
Wali kota perempuan dan laki-laki yang terpilih dengan margin tipis memiliki karakteristik yang sebanding dalam 16 metrik yang berbeda.
Temuan ini memperkuat pandangan bahwa gender memainkan peran signifikan dalam kekerasan politik yang ditujukan kepada mereka.
Meskipun perempuan semakin aktif dalam politik global, jumlah mereka di posisi legislatif dan eksekutif masih belum mencerminkan proporsi yang adil.
Baca Juga: 16 HAKTP: Tantangan Membantu Perempuan Korban dan Penyintas Kekerasan
Politisi perempuan sering kali menjadi sasaran serangan, baik verbal maupun fisik, yang banyak dipicu oleh norma sosial yang menganggap mereka sebagai ancaman di ruang publik, terutama dalam konteks kekuasaan.
Kekerasan terhadap mereka semakin diperburuk dengan adanya standar ganda yang berlaku.
Di mana kinerja pemimpin perempuan sering dinilai lebih keras dibandingkan dengan rekan laki-laki, meskipun keputusan yang diambil serupa.
Selain itu, perempuan dalam politik biasanya berusia lebih muda, kurang memiliki koneksi, dan sering dianggap lebih jujur daripada laki-laki, yang membuat mereka lebih rentan terhadap serangan.
Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kebijakan antara wali kota perempuan dan laki-laki, visibilitas mereka di ruang politik sering memicu reaksi negatif, terutama di daerah yang menerapkan kuota gender.
Akhirnya, serangan-serangan ini terbukti efektif karena banyak politisi perempuan, yang setelah diserang, memilih untuk mundur dan tidak mencalonkan diri kembali.
Untuk menghadapi tantangan ini, penting adanya perubahan sikap masyarakat terhadap perempuan dalam kepemimpinan politik.
Pendidikan dan intervensi yang memperkenalkan langkah-langkah pengamanan yang lebih ketat untuk perempuan yang baru terpilih sangat diperlukan untuk memastikan mereka dapat bertugas dengan aman dan penuh percaya diri.
Baca Juga: 5 Langkah Utama Cegah Diskriminasi terhadap Perempuan Difabel
Bertepatan dengan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, kita diingatkan akan pentingnya pemberdayaan perempuan, terutama dalam ruang politik.
Kita harus terus mendukung agar perempuan tidak hanya mendapat tempat di dunia politik, tetapi juga dapat bekerja tanpa rasa takut akan ancaman kekerasan.
(*)
Ken Devina