WeProtect Global Alliance Rilis Data Kekerasan pada Anak di Ruang Digital, Iain Drennan Soroti Pihak yang Bertanggung Jawab

Rizka Rachmania - Rabu, 8 November 2023
Cara-cara yang bisa orang tua maupun pengasuh lakukan untuk melindungi anak-anak dari kejahatan digital.
Cara-cara yang bisa orang tua maupun pengasuh lakukan untuk melindungi anak-anak dari kejahatan digital. RyanKing999

Parapuan.co - Kawan Puan, kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak secara online jumlahnya kian hari kian meningkat.

Peningkatan kasus kekerasan seksual pada anak secara online itu tidak hanya terjadi di global, melainkan pula di Indonesia.

Kawan Puan yang punya anak harus waspada dengan adanya risiko pelecehan seksual pada anak yang terjadi secara online ini.

Adapun data tentang peningkatan kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi secara online ini bisa dilihat dari yang dirilis oleh WeProtect Global Alliance.

Data yang dirilis oleh WeProtect Global Alliance melalui Global Threat Assessment Report yang dipublikasikan di Saudi Arabia, Selasa, (17/10/2023).

Ternyata, diketahui terdapat peningkatan kasus pelecehan seksual terhadap anak sejak tahun 2019 sebesar 87 persen, dengan lebih dari 32 juta laporan secara global.

Di mana, kebanyakan kasus pelecehan seksual pada anak tersebut terjadi secara online.

Bagaimana dengan di Indonesia? Ternyata Indonesia juga turut mengalami peningkatan pelaporan kasus pelecehan online pada anak.

Berdasarkan data dari Global Threat Assessment, terdapat 1,878,011 laporan kasus di tahun 2022 yang terjadi di Indonesia.

Baca Juga: Darurat Pelecehan Online pada Anak, Ini yang Harus Dilakukan

Ironisnya, laporan tersebut meningkat dari tahun ke tahunnya, yang mana pada tahun 2020 terdapat 986,648 laporan kasus.

DQ Institute pun merilis Indeks Keamanan Daring Anak (COSI) 2023, sebuah metrik tingkat nasional yang dirancang untuk membantu negara-negara dalam memantau secara efektif status keamanan daring anak-anak.

Indeks tersebut lagi-lagi menemukan fakta bahwa anak-anak sangat rentan mengalami kekerasan saat berada di dunia maya atau saat mereka online.

Indeks tersebut menunjukkan persentase yang tinggi, hampir 70%, anak-anak dan remaja berusia 8-18 tahun di seluruh dunia pernah mengalami setidaknya satu risiko dunia maya dalam satu tahun terakhir.

Statistik yang mengkhawatirkan ini hampir tidak berubah sejak Indeks dimulai pada tahun 2018, sebuah situasi yang oleh DQ Institute disebut sebagai ‘pandemi siber yang terus-menerus’.

Dr. Yuhyun Park, pendiri DQ Institute, mengatakan, "Saat ini, dengan penyebaran cepat AI generatif, metaverse, dan perangkat serupa XR (Exended Reality), teknologi digital semakin mengubah kehidupan anak-anak."

"Namun, hanya ada sedikit diskusi mengenai potensi dampak berbahaya dari teknologi tersebut," lanjutnya.

Dr. Yuhyun Park pun mengatakan bahwa mengatasi tantangan iklim merupakan hal yang sangat penting dan kita tidak dapat menundanya lagi.

Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap keamanan anak-anak saat mereka berada di dunia maya dan menggunakan semua teknologi yang ada sekarang ini?

Baca Juga: Banyak Kejahatan di Dunia Digital, Ini Cara Menciptakan Ruang Aman untuk Perempuan dan Anak

Siapa yang punya tanggung jawab untuk mencegah dan melindungi anak-anak agar tidak terpapar risiko dunia maya atau bahkan jadi korban kekerasan saat mereka online?

Iain Drennan, Executive Director of WeProtect Global Alliance, mengatakan bahwa banyak pihak yang bertanggung jawab memastikan keamanan anak saat berada di dunia maya.

Iain Drennan menegaskan kalau eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak yang difasilitasi secara online di seluruh dunia perlu menjadi perhatian bersama dan ditindak dengan tegas.

"Kemampuan teknologi baru semakin memperburuk risiko yang ada. Keamanan anak-anak tidak bisa ditawar lagi," ungkapnya.

"Untuk mencegah lebih banyak anak-anak yang terkena dampak buruk, pemerintah, penyedia layanan online, badan amal, dan perusahaan harus meningkatkan upaya mereka dan bekerja sama untuk mendorong perubahan dan melindungi anak-anak,” tambahnya.

Iain Drennan yang punya dua anak ini pun menegaskan bahwa anak-anak tidak seharusnya dibebani dengan tanggung jawab melindungi dirinya sendiri saat berada di dunia maya.

Seperti yang tadi ia katakan, pemerintah, penyedia platform, hingga orang tua punya tanggung jawab bersama untuk mencegah risiko anak jadi korban kekerasan maupun pelecehan seksual saat online.

"Anak-anak tidak seharusnya dibebani untuk melindungi diri sendiri. Saya pikir, pertama-tama, pemerintah mempunyai peran penting dalam menetapkan kerangka legislatif yang mengatur, kerangka peraturan di mana penyedia platform beroperasi," ucapnya.

"Menurut saya, penyedia platform juga punya tanggung jawab nyata dalam merancang lingkungan yang aman untuk anak-anak," tambahnya.

"Tapi menurut saya, anak-anak juga harus diberi perhatian dan diberi alat yang mereka perlukan untuk bisa menjelajahi dunia digital dengan aman dan memanfaatkan semua hal," terangnya.

Iain Drennan meyakini bahwa anak tumbuh seiring dengan berkembangnya teknologi digital sekarang ini. Mereka sebenarnya punya banyak ide tentang bagaimana melindungi diri mereka sendiri.

Akan tetapi, tetap diperlukan pendampingan orang tua, serta peran dari pemerintah dalam hal regulasi dan penyedia platform yang membangun ruang aman untuk anak saat mereka berada di dunia maya.

Baca Juga: Global Cybersecurity Forum Bahas 5 Prioritas Utama, Termasuk Cegah Kejahatan Dunia Maya

(*)

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania