Darurat Pelecehan Online pada Anak, Ini yang Harus Dilakukan

Citra Narada Putri - Jumat, 3 November 2023
Pelecehan online pada anak.
Pelecehan online pada anak. (JORGE CORCUERA/iStockphoto)

Parapuan.co - Sebuah fakta memilukan dirilis oleh WeProtect Global Alliance melalui Global Threat Assessment Report yang dipublikasikan di Saudi Arabia (17/10/2023).

Diketahui bahwa ternyata terdapat peningkatan kasus pelecehan seksual terhadap anak sejak tahun 2019 sebesar 87 persen, dengan lebih dari 32 juta laporan secara global.

Dan kebanyakan pelecehan seksual pada anak tersebut terjadi secara online

Ironisnya, berdasarkan catatan Internet Watch Foundation, terdapat peningkatan sebesar 360% dalam citra seksual yang dibuat sendiri oleh anak-anak berusia 7-10 tahun dari tahun 2020 hingga 2022.

Mengejutkannya lagi, platform game online menjadi wadah yang rentan terjadinya pelecehan seksual pada anak.

Bagaimana tidak, ternyata anak berisiko tinggi mengalami child grooming hanya dalam waktu 19 detik.

Lingkungan game online ini turut memfasilitasi pencampuran interaksi antara orang dewasa dan anak-anak tanpa pengawasan, pertukaran hadiah virtual, yang secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya pelecehan seksual pada anak secara online

Dalam penelitian tersebut juga diketahui bahwa adanya peningkatan kasus pemerasan finansial pada korban pelecehan seksual secara online tersebut. 

Dimana para pelaku memanipulasi anak-anak untuk membagikan foto dan video seksual dirinya, yang kemudian mereka akan diperas secara finansial. 

Baca Juga: Orang Tua Wajib Tahu! Ada 4 Jenis Bullying yang Bisa Menyerang Anak

Banyak pemeras yang menyamar sebagai gadis muda di dunia maya dan sebagian besar mendekati anak laki-laki berusia antara 15-17 tahun melalui media sosial.

Fenomena ini pun mengakibatkan serangkaian kasus, di mana anak-anak secara tragis bunuh diri.

Penting untuk dipahami bahwa teknologi baru yang semakin canggih turut meningkatkan ancaman yang dihadapi anak-anak saat berselancar di dunia maya.

Sejak awal tahun 2023, banyak pelaku menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan untuk membuat materi pelecehan seksual terhadap anak dan mengeksploitasi mereka.

Di sisi lain, ada kesenjangan yang signifikan antara persepsi anak-anak mengenai risiko online dan manifestasi nyata dari pelecehan online.

Bagaimana dengan di Indonesia? Ternyata Indonesia juga turut mengalami peningkatan pelaporan kasus pelecehan online pada anak.

Berdasarkan data dari Global Threat Assessment, terdapat 1,878,011 laporan kasus di tahun 2022 yang terjadi di Indonesia.

Ironisnya, laporan tersebut meningkat dari tahun ke tahunnya, yang mana pada tahun 2020 terdapat 986,648 laporan kasus.

Menurut Iain Drennan, Executive Director of WeProtect Global Alliance, eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak yang difasilitasi secara online di seluruh dunia perlu menjadi perhatian bersama dan ditindak dengan tegas.

Baca Juga: Memperjuangkan dan Meraih Ruang Aman Bagi Perempuan di Media Sosial

"Kemampuan teknologi baru semakin memperburuk risiko yang ada. Keamanan anak-anak tidak bisa ditawar lagi. Untuk mencegah lebih banyak anak-anak yang terkena dampak buruk, pemerintah, penyedia layanan online, badan amal, dan perusahaan harus meningkatkan upaya mereka dan bekerja sama untuk mendorong perubahan dan melindungi anak-anak,” ujar Drennan.

Kekhawatiran yang sama juga disampaikan oleh Sheema Sen Gupta, UNICEF Director of Child Protection and WeProtect Global Alliance Policy Board Member, bahwa kemajuan teknologi yang pesat membebani sistem perlindungan dan peradilan anak, yang di banyak negara sudah sangat lemah.

"Kita perlu segera fokus pada pencegahan berskala besar – hal ini mengharuskan pemerintah untuk berinvestasi dalam intervensi berbasis bukti untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual dan agar perusahaan mengadopsi prinsip-prinsip hak-hak anak ketika mengembangkan produk dan layanan digital untuk mencegah potensi bahaya,"

Mengatasi masalah kedaruratan pelecehan seksual terhadap anak secara online, tak bisa dilakukan oleh hanya satu atau dua pihak saja.

Perlu adanya peningkatan prioritas dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya tanggap bencana, serta diberdayakan dan dimungkinkan melalui undang-undang yang matang.

Adapun hal yang perlu dilakukan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, penyedia layanan online, organisasi masyarakat sipil, dan pihak yang memberikan bantuan, adalah:

- Berinvestasi dalam Pendekatan Kesehatan Masyarakat

Prioritaskan pencegahan dan investasikan pada intervensi yang menyasar mereka yang pernah atau berisiko melakukan atau mengalami pelecehan.

Jika kita hanya berinvestasi dalam menanggapi masalah setelah pelecehan terjadi, maka akan lebih berdampak buruk pada anak-anak.

Baca Juga: Apa itu Child Grooming yang Viral di TikTok? Diduga Dialami oleh Dahlia Poland

- Pusatkan Hak dan Perspektif Anak

Rancang intervensi yang memberdayakan anak-anak, menghilangkan hambatan dalam identifikasi kekerasan, dan memungkinkan mereka untuk meminta pertanggungjawaban penyedia layanan online.

“Untuk membuat dunia online lebih aman, penting untuk memahami persepsi anak-anak mengenai keselamatan agar bisa memberikan respons yang tepat. Pesan dari anak-anak sangat jelas: masih banyak yang harus kita lakukan untuk memastikan lingkungan digital menjadi ruang yang aman dan terlindungi bagi dan bersama mereka,” ujar Najat Maalla M’jid, Special Representative of the Secretary-General on Violence Against Children, UN.

- Menerapkan Perundang-undangan yang Selaras secara Global

Mencegah pelanggar mengeksploitasi celah hukum dengan memberlakukan peraturan internet yang konsisten secara global.

"Kita juga memerlukan undang-undang yang kuat untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk eksploitasi seksual terhadap anak secara online, yang tahan terhadap teknologi yang berkembang pesat di masa depan,” papar Sheema Sen Gupta.

- Mengadopsi Pendekatan Keselamatan yang Inovatif

Menerapkan pendekatan inovatif terhadap desain teknologi yang memprioritaskan keselamatan pengguna sejak awal, bukan hanya sekedar pemikiran belaka.

Penting untuk diingat bahwa upaya ini perlu dilakukan bersama-sama untuk menghadirkan ruang online yang aman bagi anak-anak.

Baca Juga: 58 Persen Wanita Alami Pelecehan Daring, Ini Ciri Kekerasan pada Perempuan Berbasis Gender Online

Bukannya tanpa alasan, berdasarkan Global Threat Assessment mengungkapkan, bahwa ajakan seksual online yang tidak diinginkan dan penindasan maya (cyberbullying) masih menjadi masalah yang umum terjadi pada anak-anak.

"Dua pertiga korban penindasan maya juga mengalami penindasan di luar layar, hal ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kekerasan online dan offline," ujar Etienne Krug, Director Social Determinants of Health - World Health Organisation.

Meskipun akses internet memberikan manfaat yang baik bagi anak-anak dan remaja, tapi kita tak bisa menutup mata bahwa mengakhiri kekerasan online juga sangatlah penting. 

"Penyedia layanan digital perlu mengambil tindakan; selain itu pejabat pemerintah dan sekolah, organisasi masyarakat sipil, kelompok berbasis agama, orang tua dan generasi muda sendiri juga mempunyai peran penting. Penting untuk meningkatkan empati, membina keterampilan hubungan yang sehat, dan kebijakan yang meningkatkan kesehatan mental anak-anak di dunia digital dan dunia nyata,” tambah Etienne Krug.

(*)