Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Poligami: The Uncovered, Menguak Aturan Poligami dan Posisi Perempuan

Anneila Firza Kadriyanti Jumat, 2 Juni 2023
Aturan PNS laki-laki boleh poligami tapi PNS perempuan dilarang jadi istri kedua.
Aturan PNS laki-laki boleh poligami tapi PNS perempuan dilarang jadi istri kedua. cglade

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Poligami di Indonesia hanya diizinkan dalam situasi tertentu, serta harus memperoleh izin dari istri pertama serta pengadilan agama.

Adapun mengenai aturan ASN yang ingin berpoligami turut pula diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983 yang kemudian diperbaharui lewat PP No.45 Tahun 1990.

Aturan ini kurang lebih sama seperti UU Perkawinan, dengan tambahan ASN yang ingin berpoligami harus juga meminta izin kepada pejabat atasannya apabila ingin menambah istri baru.

Sayangnya PP tentang ASN yang berpoligami sekaligus UU Perkawinan (meskipun sudah diperbaharui di tahun 2019) ini merupakan produk usang yang tidak mengalami perubahan signifikan untuk lebih pro terhadap perempuan.

Baik UU dan PP ini sama-sama mengizinkan laki-laki berpoligami dengan alasan yang menyudutkan perempuan, yakni apabila perempuan sebagai istri mengalami sakit parah, tidak bisa menjalankan fungsi seksual, serta tidak mampu memberikan keturunan.

Dengan kata lain, negara memposisikan perempuan istri sebagai objek seks dan pabrik penghasil bayi.

Bilamana istri pertama mengalami disfungsi seksual dan tidak mampu memproduksi bayi, maka laki-laki ‘dilegalkan’ dan ‘dianjurkan’ untuk mencari perempuan lain yang dapat memproduksi bayi dan memuaskan hasrat seksualnya.

UU Perkawinan dan PP ini tidak mengakomodasi kepentingan perempuan sebagai subjek dalam perkawinan yang juga memiliki hasrat dan naluri seks yang sama.

Tidak ada aturan yang eksplisit menyebutkan ketika suami tidak mampu menjalankan fungsinya akibat impotensi atau disfungsi pada spermanya, istri boleh menuntut cerai dan menikahi laki-laki lain yang bisa menjalankan fungsi tersebut.

Baca Juga: Pandangan Kartini Soal Poligami yang Menjadi Polemik hingga Saat Ini

Pembuatan undang-undang dan peraturan pemerintah didesain dalam model male by default. Diciptakan dan didesain sedemikian rupa untuk melanggengkan supremasi laki-laki dan demi keuntungan para pejantan.

Perempuan ditempatkan semata sebagai objek seksual demi keuntungan dan kepentingan laki-laki (Beauvoir, 1949).

Pemilih Perempuan Berhenti Memilih Penyelenggara Negara Seksis

Keberhasilan gerakan global #MeToo dan meningkatnya kesadaran perempuan untuk menyuarakan hak-hak dan kepentingannya telah menjadi pelecut bagi banyak perempuan untuk melawan dominansi laki-laki yang tidak menguntungkan perempuan.

Gerakan-gerakan ini akan semakin mudah dan masif dilakukan melalui pemanfaatan teknologi digital di ruang virtual.

Momen tentang pejabat BKN yang justru “menyemangati” praktik poligami yang kebanyakan merugikan perempuan, harus menjadi pengingat bagi para perempuan bahwa selama ini masih terpatri hegemoni penindasan dan pemakluman terhadap sikap-sikap laki-laki yang merendahkan perempuan.

Apalagi saat ini kita tengah memasuki tahun politik, dan tahun depan akan memilih langsung penyelenggara negara lewat pemilu.

Jumlah pemilih perempuan pada pemilu mendatang sedikit lebih banyak daripada pemilih laki-laki.

Sepatutnya kini para perempuan memilih para penyelenggara negara yang memiliki perspektif feminin dan menerapkan kebijakan yang lebih memihak perempuan.

Dengan demikian, pemerintahan selanjutnya dapat mengamandemen dan menghapuskan undang-undang diskriminatif yang seksis, serta menciptakan peraturan yang pro perempuan.

Kini saatnya perempuan berhenti memilih pejabat negara yang seksis! Dan melawan narasi negara yang seksis!

Catatan Penulis: Penulis tidak menentang poligami. Namun perlu diperhatikan apabila poligami memiliki lebih banyak manfaat atau kerugian bagi perempuan.

Sebab selama ini tren yang beredar masih banyak menunjukkan, poligami didasarkan pada pemenuhan kebutuhan biologis laki-laki ketimbang melaksanakan sunnah Nabi.

Selalu ingat, bahwa persetujuan poligami adalah hak istri pertama.

Bila suami melakukan poligami tanpa izin istri pertama, suami dapat diancam dengan hukuman pidana. (*)