Mengintip Gambaran Penjara Perempuan di Indonesia dari Cerita Baiq Nuril

Alessandra Langit - Sabtu, 18 Februari 2023
Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE) Baiq Nuril Maknun (tengah) menyaksikan rapat kerja Komisi III DPR dengan Menkumham di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE) Baiq Nuril Maknun (tengah) menyaksikan rapat kerja Komisi III DPR dengan Menkumham di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/7/2019). Kompas.com

Parapuan.co - Sejak vonis pengadilan diberikan pada Putri Candrawathi pada Senin (13/2/2023) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, publik bertanya-tanya akan seperti apa hidupnya sebagai perempuan di penjara.

Satu yang bisa memberi gambaran tersebut adalah Baiq Nuril Maknun, seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang akhirnya bisa mengirup udara bebas pada 2019 lalu setelah perjuangan panjang menuntut keadilan.

Baiq Nuril terjerat dalam kasus tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE setelah menyimpan rekaman suara dugaan tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah tempatnya bekerja.

Selama beberapa bulan, Baiq Nuril harus berada di dalam tahanan dan menjalani hukuman yang dinilai masyarakat pada saat itu tidak adil.

Di luar rumah tahanan, berbagai gerakan menuntut keadilan bagi perempuan tersebut terus berjalan dan berlipat ganda, hingga menggerakan hati Presiden Joko Widodo.

Pengalaman berada di dalam penjara perempuan pun Nuril bagikan saat diwawancarai oleh PARAPUAN secara daring, Jumat (17/2/2023). 

Dalam kesempatan tersebut, Baiq Nuril memberikan gambaran penjara perempuan di Indonesia lewat pengalamannya menjadi tahanan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Mataram.

"Saya datang ke Lapas itu dalam kondisi, ibarat kata, kaki ini sudah tidak menyentuh tanah, saya tidak percaya. Pikiran saya mau mati saja," ungkap Nuril, membuka cerita panjangnya soal penjara perempuan.

Berbekal pesan keluarga yang pernah bekerja di Lapas Mataram, Baiq Nuril mendapatkan perlakuan menusiawi, baik dari sipir maupun napi di penjara.

Walau begitu, kehidupan di penjara perempuan tetap terasa keras dan penuh dengan politik.

Baca Juga: Tak Seperti yang Dibayangkan! Begini Rutinitas Napi di Lapas Wanita

"Setelah seminggu saya ada di sana, ada salah satu narapidana yang mendekati saya dan bilang, 'Bu ini ada yang harus dibayar'," cerita Nuril.

Siapa sangka, tempat yang ditanggung negara tersebut masih menarik biaya untuk tempat tidur, hal esensial manusia.

Nuril bercerita bahwa uang yang dibayarkan dan status senior di penjara perempuan yang akan menjamin seorang tahanan bisa tidur dengan pulas.

Dalam satu penjara perempuan tersebut, ada tahanan yang punya kasur dan ada yang tidak.

Nuril, tahanan baru, harus beristirahat di atas lantai beralasan tikar, tanpa kasur yang nyaman untuk tidur.

"Kalau masih baru tidur di ruangan besar tapi tidak punya kasur, kayak saya yang baru masuk harus tidur beralasan tikar plastik," kilas balik Nuril.

Fasilitas di penjara perempuan tempat Baiq Nuril ditahan pun tidak selalu dapat dinikmati secara cuma-cuma.

Salah satunya adalah fasilitas telepon yang ternyata berbayar dan dibatasi hanya boleh digunakan selama sepuluh sampai 15 menit.

Jika penjara dalam bayangan kita merupakan jeruji besi seperti di film-film kriminal, imaji tersebut dapat dipatahkan dengan cerita dari Baiq Nuril.

Baca Juga: Ramai Vonis Ferdy Sambo, Begini Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia

Sel tempat Nuril ditahan merupakan rumah besar yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan besar, sedang, dan kecil.

Penempatan siapa yang berada di ruangan yang lebih privat dan berkasur merupakan keputusan "hukum rimba" yang ada di penjara tersebut, siapa yang senior dan mampu membayar akan tidur dengan lebih nyenyak.

Nuril berada di antara puluhan orang yang harus berdesakan tidur di ruang tamu besar.

"Berdesak-desakan, kaki ketemu kepala, kepala ketemu kaki. Saya tidur pakai tikar," cerita Nuril.

"Kalau ada orang piket kebersihan, jam lima itu harus sudah bangun. Bagi yang punya kasur, enak dia bisa tidur sampai waktu absen," lanjutnya.

Di tengah kehidupan penjara yang ternyata tidak memiliki kegiatan rutin yang bermanfaat dan mendorong produktivitas, keinginan bertemu dengan keluarga pun meluap-luap.

Hal itu yang membuat banyak tahanan masih bertahan karena penjara perempuan tersebut memberikan fasilitas kunjungan keluarga dua kali seminggu untuk tahanan titipan dan tiga kali seminggu untuk napi.

"Kunjungan (keluarga) kalau belum napi dua kali seminggu kalau napi tiga kali seminggu," katanya.

Berdasarkan cerita Nuril, keluarga pun dapat menitipkan makanan, mengingat gizi yang dibutuhkan tubuh tak terpenuhi dari makanan di penjara.

Baca Juga: Lapas Perempuan Semarang Gelar Fashion Show, Padukan Harajuku dan Batik

"Makanan kita dikasih tiga kali sehari, jam setengah sembilan pagi, jam 12 siang, lalu jam enam sore," ungkap Nuril.

"Menunya itu, saya tidak habis pikir pada saat itu Rp15.000 beli di luar menunya enak, di sini hanya telur satu butir dan sayur sedikit," lanjutnya.

Nuril menggambarkan makanan di penjara perempuan sangat tidak layak dan tidak bisa dinikmati.

Makanan pokok nasi yang diberikan pun terasa keras dan berwarna kehitaman.

Belum selesai sampai di situ, fasilitas lain yang cukup memprihatikan dari penjara perempuan ini adalah kamar mandi.

"Kamar mandi ada dua, makanya banyak yang mandi bertiga, tapi kalau saya sih risih ya," kata Nuril.

"Jadi saya bangun lebih pagi supaya bisa mandi duluan," lanjutnya.

Kesehatan dan kebersihan diri dari para napi yang berada di lapas tersebut masih diabaikan dan menjadi tanggung jawab masing-masing.

Dengan fasilitas terbatas itu, apakah narapidana akan mendapatkan efek jera dari perbuatannya? Bagi Nuril, tidak selalu.

Nuril mengatakan bahwa perubahan-perubahan baik atau efek jera berangkat dari diri para napi sendiri.

Berdasarkan cerita Baiq Nuril, penjara perempuan tidak memberikan ruang untuk tahanannya merefleksikan diri, mengembangkan hal positif lain, atau hidup selayaknya manusia.

Baiq Nuril pun bersyurkur karena kini ia bisa kembali "hidup" dengan bebas bersama keluarganya yang sempat ditinggalkan dalam waktu yang cukup lama.

Baca Juga: Menengok Hukum Aborsi di Indonesia, Sudahkah Menyejahterakan Perempuan?

(*)

Penulis:
Editor: Linda Fitria