Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Mitos dan Aspek Struktural: Kesenjangan Gender dari Hulu hingga Hilir

Dr. Firman Kurniawan S. Minggu, 11 Desember 2022
Seorang profesor mendapati bahwa kesenjangan gender terjadi dari kesalahan berpikir para mahasiswi di ruang kelas perkuliahan.
Seorang profesor mendapati bahwa kesenjangan gender terjadi dari kesalahan berpikir para mahasiswi di ruang kelas perkuliahan. nirat

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Lebih lanjut, hanya 22% perempuan yang berprofesi AI di tingkat global, 13,8% perempuan jadi penulis makalah AI, dan hanya 18% penulis di konferensi AI terkemuka yang perempuan.

Dalam hal distribusi permodalan pun, kesenjangan itu menyolok.

Tercatat hanya 2% modal ventura bagi perusahaan startup, jatuh ke perusahaan yang didirikan perempuan.

Ramos kemudian menutup uraiannya:
Kurangnya keragaman gender terjadi sejak hulu dan terjaga konsitensinya hingga ke hilir.

Baca Juga: Toxic Masculinity dan Pembagian Kerja Berbasis Gender dalam Keluarga

Di hulu, pendidikan di bidang science, technology, engineering and mathematic (STEM), lebih didominasi laki-laki.

Dengan ilustrasi melempar kulit pisang sambil ditutup matanya, jika lemparan itu ditujukan pada peserta didik di bidang STEM, maka hampir pasti lemparan mengenai laki-laki.

Itu saking banyaknya laki-laki dibanding perempuan.

Sedangkan di tingkat hilir, distribusi kekuasaan maupun kepemimpinan, tak kalah timpangnya.

Posisi-posisi penentu kebijakan dikuasai laki-laki. Ini menciptakan ketimpangan gender, yang juga penyebab tak meratanya ketersediaan data berdasar gender.

Tak terelakkan, ini membuka pintu bagi terjadinya bias algoritma.

Indikasi terjadinya kesenjangan gender pada bidang AI, STEM, maupun tempat kerja pada umumnya, telah berlangsung lama.

Sejarah mencatat relasi tak seimbang antara laki-laki dan perempuan telah berlangsung lama. Hingga kini ketakseimbangan relasi itu terus terjadi.

Berbagai rekomendasi untuk mengurangi kesenjangan, lalu jadi perhatian serius para ahli.

Salah satunya Natalie Marchant, penulis dan editor pada World Economic Forum, yang mengemukakan rekomendasinya melalui artikel yang ditulisnya pada 2021, berjudul: “5 Ways to Improve Gender Equality in the Workplace”.

Dari 5 rekomendasi itu, pada dasarnya menurut Marchant, mencegah kesenjangan harus dimulai sejak rekrutmen.

Rekrutmen terjadi di tingkat hulu, pada pelaksanaan seleksi peserta didik, maupun tingkat hilir saat memberi kesempatan kerja maupun alokasi jabatan.

Bias gender, atau kesenjangan gender, dapat dicegah melalui wawancara. Ini bertujuan mengungkap keterampilan calon peserta didik maupun pekerja.

Baca Juga: Kenali Metode STAR, Cara Wanita Karier Jawab Pertanyaan saat Wawancara Kerja

Ketika kandidat telah diperoleh, transparansi fasilitas pendidikan maupun perolehan gaji yang diberikan jadi prinsip penting.

Diskriminasi fasilitas maupun gaji, apalagi berdasar gender, akan menyebabkan turunnya etos kerja. Dan pada akhirnya merembet pada penurunan produktivitas.

Namun demikian, dari seluruh pencetus terjadinya kesenjangan gender, baik kultural maupun aspek struktural, perempuan dikehendaki untuk bergerak mengubah nasibnya sendiri.

Berharap dunia luar memberikan kemurahan berupa kesempatan yang lebih adil, nampaknya perlu waktu lama, Kawan Puan.

Atau bahkan tak mungkin.

Tersedia pilihan lainnya: Menyerah, seraya meratapi ketakadilan yang dialami, tanpa perlawanan.

Tapi Kawan Puan tidak mau begitu, kan? (*)