Aborsi Aman untuk Korban Perkosaan, Legal di UU, Miskin Implementasi

Rizka Rachmania - Rabu, 30 November 2022
Menurut Undang-Undang Kesehatan, aborsi untuk perempuan korban perkosaan adalah legal, namun fakta di lapangan sangat minim realisasi.
Menurut Undang-Undang Kesehatan, aborsi untuk perempuan korban perkosaan adalah legal, namun fakta di lapangan sangat minim realisasi. Ponomariova_Maria

RS Bhayangkara Semarang hanya jadi rumah sakit atau layanan kesehatan rujukan pemeriksaan korban kekerasan seksual, belum sampai ke penunjukan rumah sakit untuk aborsi aman korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan tidak diinginkan.

Perempuan korban kekerasan seksual pun bahkan kesulitan mengakses layanan kesehatan dimana ia bisa memilih untuk menghentikan kehamilannya.

Jangankan layanan aborsi aman, kontrasepsi darurat yang harusnya menurut Algoritma Tatalaksana Pelayanan Kesehatan Bagi Korban Kekerasan Seksual yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI tahun 2021 diberikan kepada korban kekerasan seksual jika sampai terjadi penetrasi dalam kurun waktu kurang dari 72 jam, juga sulit diakses.

Padahal, kontrasepsi darurat yang diberikan kepada korban kekerasan seksual sampai terjadi penetrasi dalam kurun waktu kurang dari 72 jam efektif bisa mencegah risiko kehamilan yang tidak diinginkan.

Namun lagi-lagi, fakta di lapangan mengatakan bahwa pil kontrasepsi darurat ini sangat sulit diakses. Wajar apabila dalam kasus Neli, ia harus membeli obat penggugur kandungan secara diam-diam karena memang alat kontrasepsi darurat belum tersedia luas.

“Terkait dengan apa keberadaan kontrasepsi darurat, saya pernah wawancara sama Kemenkes, sebetulnya itu tersedia di 200 rumah sakit rujukan penanganan kasus kekerasan. Cuma, kemudian yang di lapangan saya wawancara itu mengaksesnya itu banyak sekali tantangannya,” ucap Suharti.

Sepakat dengan Suharti, Uli Pangaribuan pun menegaskan bahwa kontrasepsi darurat untuk pencegahan kehamilan korban kekerasan seksual masih sulit diakses.

“Nggak bisa, nggak ada, dia udah korban perkosaan, itu akses untuk mendapatkan pil yang untuk antisipasi penularan penyakit menular seksual tidak ada. Sulit lho, nggak dikasih sama sekali, padahal kan itu, harusnya diberikan ketika korban melakukan pelaporan, kemudian divisium, itu harusnya tenaga medis memberikan untuk antisipasi penyakit menular dan mencegah kehamilan tidak diinginkan.”

“Sampai sekarang belum ada penunjukan rumah sakitnya dan sebenarnya harusnya sudah bisa ada dengan cepat minimal korban kekerasan bisa mengakses untuk mereka tidak mengalami kehamilan yang tidak diinginkan,” tambah Marcia Soumokil. 

Baca Juga: Sosok Devi Sumarno, Pendiri Rumah RUTH untuk Korban Kehamilan Tak Diinginkan

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania