Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Belajar Menciptakan Alternatif Virtual yang Nyaman Bagi Korban KDRT

Dr. Firman Kurniawan S. Kamis, 20 Oktober 2022
Jadi support system yang baik untuk perempuan korban KDRT. Mari berikan ruang virtual yang aman dan nyaman untuk mereka.
Jadi support system yang baik untuk perempuan korban KDRT. Mari berikan ruang virtual yang aman dan nyaman untuk mereka. Sylverarts

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Baca Juga: Hari Tanpa Kekerasan Internasional, Ini Bahaya Kekerasan Fisik terhadap Perempuan

Tidak ada ukuran obyektif untuk memperoleh nilai umum.

Manakala penghargaan dipersepsi lebih besar dari pengorbanan yang dilakukan, hubungan akan berlanjut. Demikian pula mitra relasi akan mempertahankan hubungan, ketika juga merasakan penghargaan yang setimpal.

Seorang mahasiswa yang rajin mendengarkan penjelasan dosennya, dapat berkawan dengan mahasiswa pemalas yang tak memperhatikan perkuliahan.

Namun mahasiswa rajin merasa memperoleh penghargaan, lantaran tiap kuliah berakhir ia menikmati tumpangan pulang dengan mobil mahasiswa pemalas. Sedangkan mahasiswa pemalas bersedia terus memberikan tumpangan pada mahasiswa rajin, lantaran dia memperoleh salinan catatan perkuliahan.

Namun kestabilan hubungan berubah, manakala persepsi berubah. Seorang pemuda yang di masa PDKT boleh mengantar pasangan yang diincarnya ke tempat belanja, mempersepsi izin mengantarkan sebagai penghargaan.

Namun pada hubungan yang makin rekat, izin mengantar belanja dipersepsi sebagai pengorbanan belaka. Bahkan beban.

Hubungan yang kian berkembang, perlu aneka bentuk penghargaan baru. Dalam posisi ini, manakala pengorbanan dipersepsi lebih besar dari penghargaan, diramalkan hubungan bakal berakhir.

Namun semua matematika itu, baru ramalan. Di tahap kedua, pelaku hubungan mengevaluasi kembali aktivitas yang dijalaninya. Akan berakhir atau dilanjutkannya hubungan, dilakukan perbandingan lain.

Perbandingan alternatif, seandainya hubungan tak berlanjut. Ini disebut comparison level of alternatif (CLAlt).

Baca Juga: Hindari Debat, Ini 4 Ucapan untuk Meredam Konflik dalam Hubungan

Pada CLAlt, pelaku hubungan mengimajinasikan, seandainya hubungan berakhir, apa alternatif yang bakal diperoleh? Apakah keadaan dirinya lebih baik atau justru sebaliknya?

Kembali pada kasus KDRT di atas, di tahap pertama evaluasi, CL yang diperoleh korban dipersepsi sebagai pengorbanan yang lebih besar dari penghargaan yang diterima.

Tindakan KDRT boleh jadi, telah dialami berulang. Korban memutuskan mengakhiri hubungan. Bahkan memperkuatnya dengan laporan pada polisi.

Namun di tahap CLAlt, korban membandingkan hubungan yang berakhir dengan alternatif kehidupan pasca diakhirinya hubungan.

Hasilnya, hubungan pernikahan yang berakhir dengan perceraian mengakhiri pula statusnya sebagai istri. Dirinya kembali seorang diri. Anak hasil pernikahan juga harus diasuh sendiri.

Bagi sebagian orang, dua keadaan mendasar ini bukan perkara ringan. Keadaan alternatif yang bakal dijalani, dipersepsi lebih buruk dari pilihan tetap mempertahankan hubungan.

Terlebih ketika pasangan, pelaku KDRTnya, memohon maaf seraya berjanji tak akan mengulangi perbuatannya. Yang terlihat korban, justru mempertahankan hubungan lebih baik daripada ketakpastian dari keadaan alternatifnya.

Pertengkaran berakhir, perdamaian ditempuh. Toh, banyak rumah tangga lain yang diwarnai pertengkaran tapi berlanjut baik-baik saja. Ini semua pertimbangan rasional yang perlu dipahami. Sisanya, adalah netizen yang geram.

@cerita_parapuan Boikot? Ini tentang KDRT menurut kami, kalau menurut kamu? #kdrt #kekerasanan #kekerasanwanita #kdrtlesti #lesti_kejora #lesti_billar ♬ Scott Street (Slowed Down) - Phoebe Bridgers


Baca Juga: Dugaan Kekerasan Rizky Billar terhadap Lesti Kejora, Ini 4 Dampak KDRT bagi Korban

Apa yang Bisa Dilakukan Netizen? Apa yang Bisa KITA Lakukan?

Di tahap CLAlt, idealnya netizen jika memang serius dengan kegeramannya, harus mampu membangun alternatif pandangan virtual yang lebih baik dibanding ketegasan korban untuk mengakhiri hubungan.

Apa itu bentuknya? Justru itulah yang harus dipikirkan netizen dengan serius.

Tak cukup hanya geram dan menguraikan argumen-argumen, bahkan yang ilmiah namun bersifat abstrak.

Apa yang dirasakan korban adalah keadaan nyata, sehingga pilihan-pilihan alternatifnya, juga harus nyata lebih baik daripada mengakhiri hubungan. (*)