Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Haruskah Perempuan Korban KDRT Damai Saja dengan Pelaku Kekerasan?

Anneila Firza Kadriyanti Senin, 17 Oktober 2022
Haruskah perempuan korban kekerasan, KDRT, berdamai dengan si pelaku?
Haruskah perempuan korban kekerasan, KDRT, berdamai dengan si pelaku? Ponomariova_Maria

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Setelah melaporkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh sang suami Rizki Billar, Lesti Kejora malah mencabut kembali laporan tersebut, sehingga menyebabkan status tersangka Rizki Billar ditangguhkan dan dia dikeluarkan dari penjara.

Pasangan selebritas ini memutuskan untuk saling berdamai melalui upaya restorative justice dengan mengedepankan proses mediasi dan dialog.

Rizki Billar pun disebut telah meminta maaf pada Lesti dan keluarga ayah Lesti, sehingga rekonsiliasi dianggap sebagai jalan terbaik dalam menyelesaikan masalah KDRT yang menimpa sang penyanyi dangdut tersebut.

Mencabut laporan dan berdamai sepenuhnya merupakan hak Lesti sebagai pelapor sekaligus korban.

Namun tindakan ini tentu saja mengecewakan banyak orang. Mungkin Kawan Puan salah satunya?

Sebagai figur publik yang tindak-tanduknya disorot oleh masyarakat, pelaporan KDRT oleh Lesti sebenarnya bisa menginspirasi pihak lainnya yang juga merupakan korban KDRT untuk berani melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang mereka alami.

Dengan mencabut laporan dan berdamai dengan pelaku KDRT, Lesti telah melangkah mundur dalam memberikan keadilan terhadap dirinya sendiri, serta kepada para korban KDRT lainnya, yang sedang mengumpulkan daya dan keteguhan dalam melaporkan kekerasan rumah tangga yang mereka alami.

Baca Juga: Bukan Kali Pertama, Polisi Sebut Rizky Billar Pernah Lempar Bola Biliar ke Lesti Kejora

KDRT Sebagai Kejahatan Serius

Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2022, tindak KDRT di Indonesia selama lima tahun terakhir telah mencapai angka 36.367 kasus.

Dibandingkan dengan kasus kriminal sadis lainnya, seperti pembunuhan yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, selama kurun waktu 2016-2020 hanya berjumlah 5.328 kasus, angka KDRT justru berbanding sangat jauh dan malah mengalami lonjakan di masa pandemi Covid-19.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengungkapkan jika salah satu hambatan terbesar dalam penanganan kasus KDRT adalah banyaknya para korban yang akhirnya mencabut laporan, sehingga si pelaku KDRT tidak bisa dikenai sanksi hukum sesuai dengan yang termaktub dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Melansir dari Kompas.com, istri yang kebanyakan menjadi korban KDRT kerap dihadapkan pada faktor-faktor pemberat lain, sehingga menyebabkan mereka mencabut laporan.

Faktor-faktor pemberat ini di antaranya adalah permintaan keluarga, ketergantungan emosi dan finansial, kekhawatiran terhadap relasi perkawinan, hingga pihak-pihak yang menyalahkan sang istri.

Padahal dari seluruh kasus KDRT, kekerasan terhadap istri selalu yang paling banyak dan mencapai lebih dari 70% kasus.

Baca Juga: Inul Daratista Sebut 'Pukul-pukulan' dalam Rumah Tangga Wajar, Ini Kata Ahli

Lebih lanjut, melansir dari laman Science Direct, Mauro Paulino (2017) dalam “Domestic Violence: Psychological Issues Related to the Victim and Offender” mengungkapkan, pelaku KDRT melakukan tindak kekerasan dengan niat disengaja untuk mencelakakan korbannya.

Dalam beberapa kasus, tindak kekerasan tersebut bahkan terencana.

Walaupun kesadaran untuk melawan tindakan KDRT semakin meningkat, tetap saja kebanyakan kasus KDRT berakhir dengan cara kekeluargaan.

Sebagian bahkan merasa masih takut untuk melapor disebabkan oleh beragam stigma dan justifikasi yang mungkin akan mereka terima ketika melaporkan KDRT.

Oleh sebab itu, pelaku KDRT senantiasa merasa berada dalam zona aman sebab mereka kerap meyakini jika korban (yang adalah anggota keluarga) pasti tidak ingin memperpanjang masalah dengan si pelaku KDRT yang juga merupakan bagian dari keluarga.

Dengan demikian, perilaku kekerasan akan berlangsung terus-menerus, dan semakin memperpanjang dominasi si pelaku KDRT terhadap korbannya.

Baca Juga: Viral di TikTok Pernyataan Inul Dianggap Normalisasi KDRT, Netizen Bandingkan dengan Mamah Dedeh

Sayang Anak, tapi Berdamai dengan Pelaku KDRT?

Alasan utama Lesti Kejora mencabut tuntutan dan memilih berdamai dengan Rizki Billar adalah demi anak. Namun dengan memaafkan pelaku KDRT, Lesti justru tidak memikirkan kepentingan dan tumbuh kembang anaknya.

Korban KDRT bukan hanya diderita oleh salah satu pasangan suami-istri, melainkan juga dapat terjadi pada anak.

Meskipun mungkin anak bukan sasaran kekerasan si pelaku KDRT, anak juga merupakan anggota keluarga yang memiliki potensi sangat besar untuk terekspos kekerasan dalam rumah tangga meski hanya sebagai pihak yang mengamati ketika kekerasan tersebut terjadi.

Melansir dari laman NSW Government Australia, potensi anak-anak yang terpapar KDRT di rumah berdampak pada gangguan fisik, mental, dan kejiwaannya.

Anak-anak yang berada dalam lingkungan keluarga tempat terjadinya KDRT akan mengalami anxiety, stres, mengalami fobia, menjadi pribadi yang rendah diri, mengalami gangguan makan dan tidur, bertindak agresif, menjadi target perundungan (bullying), bahkan yang sangat ekstrem sampai memiliki keinginan untuk mencelakakan diri sendiri.

Bahaya lain yang dapat dialami anak ketika menyaksikan terjadinya peristiwa kejahatan dalam rumah tangga adalah bahwa di kemudian hari sang anak juga akan melakukan tindak kekerasan yang sama terhadap orang lain dan keluarganya.

Bahkan menurut U.S. Department of Health and Human Services, anak akan tumbuh sebagai abuser/offender yang menganggap penggunaan kekerasan adalah sesuatu yang wajar dalam menyelesaikan masalah.

Pelaku kejahatan KDRT adalah sosok yang sangat manipulatif.

Tidak serta-merta setelah berdamai dan mengungkapkan janji manis untuk tidak melakukan KDRT lagi, maka tindak kekerasan yang dilakukannya kepada anggota keluarganya tidak akan terulang.

Baca Juga: Berkaca dari Kasus Lesti Kejora dan Rizky Billar, Kenali 4 Fase KDRT Ini

Sebaliknya, justru seorang pelaku KDRT semakin berusaha untuk mempertahankan dominasinya kepada korban sebagai salah satu bentuk unjuk kekuatan dan kekuasaannya dalam mengontrol anggota keluarga yang dianggap lebih rendah (submissive) (The Power and Control Wheel, The Duluth Model Approach, 1980).

Tidak ada jaminan pasti yang bisa menjanjikan pelaku KDRT benar-benar menyesal dengan tindakan dan perbuatannya.

Justru potensi kembali terjadinya kejahatan kekerasan di ruang domestik malah bertambah besar.

Bila sudah begini, anak akan menjadi korban utama dari keputusan orang tua yang salah dalam membiarkan dan ‘memaklumi’ terjadinya perilaku kejahatan KDRT.

@cerita_parapuan Boikot? Ini tentang KDRT menurut kami, kalau menurut kamu? #kdrt #kekerasanan #kekerasanwanita #kdrtlesti #lesti_kejora #lesti_billar ♬ Scott Street (Slowed Down) - Phoebe Bridgers

Aksi Untuk Memutuskan Rantai KDRT

Jalan ninja yang harus ditempuh setiap korban kekerasan domestik adalah dengan melapor kepada pihak berwenang seperti polisi, atau lembaga khusus yang telah ditunjuk oleh negara untuk menanggulangi kasus KDRT seperti Komnas Perempuan, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, hingga Women Crisis Center.

Dapat juga melapor ke nomor 129 atau WhatsApp 08111129129 yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Beragam instansi lain yang dikelola secara swadaya oleh anggota masyarakat juga dapat menjadi tempat melaporkan apabila mengalami KDRT, seperti salah satunya adalah Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK).

Dengan semakin banyaknya kanal yang tersedia untuk melaporkan kekerasan rumah tangga, seharusnya semakin memudahkan para korban dalam mencari keadilan. Hal itu juga sebagai salah satu cara untuk memutus mata rantai terjadinya kekerasan domestik.

Baca Juga: Berkaca dari Kasus KDRT Lesti Kejora, Ini Cara Dapatkan Visum Gratis di Jakarta

Adapun bila pelaku KDRT merupakan figur publik seperti Rizki Billar, hendaknya diterapkan pula cancel culture dengan benar-benar melarangnya tampil untuk mengisi acara hiburan di ruang media Indonesia.

Bahkan bila perlu, berhenti mengikuti (unfollow/unsubscribe) akun media sosial sang pelaku kejahatan KDRT.

Penerapan cancel culture ini dilakukan agar publik menyadari betapa KDRT merupakan kejahatan luar biasa yang dapat berdampak luar biasa negatif terhadap korban, seperti mengalami kekerasan fisik dan psikis yang bisa mengakibatkan trauma berkepanjangan dan memperburuk kesehatan mental korban.

Jika media dan audiens masih memberikan kesempatan pada penjahat KDRT seperti Rizki Billar untuk tampil di ruang publik, maka akan muncul pemakluman bahwa kejahatan KDRT adalah perilaku yang lumrah dan bukan masalah serius.

Ayo laporkan KDRT!
Cancel culture para penjahat KDRT! (*)